[Kaistal FF Monthsarry] Red Light

PicsArt_1407248359482

Author : kryzelnut
Title : Red Light
Casts :
Jung Soojung [f(x)]  ; Kim Jongin [EXO]
Genre : fantasy, sad
Length : oneshot (3,000+ words)
Rating : PG-13
Disclaimer :
Casts belong to themselves, but storyline and artwork is mine. Don’t take them without my permission and don’t be plagiator.
Note :
Specially made for celebrate Kaistal FF 1st Monthsary. Happy anniversary! By the way, please leave ur comment after reading my fanfic. Hope you like it and enjoy!

NB: italic means flashback.

 

“Kau sudah menemukan orangnya?”

“Belum. Padahal aku harus segera menikah.”

“Bagaimana kalau orang ini?”

“Sepertinya tak sulit.. Oke, aku akan menggunakannya. Aku diberi waktu 5 bulan, kalau tidak aku tidak bisa menikah.”

“Baiklah, hati-hati. Semoga kau bisa kembali, dan segera memenuhi keinginanmu.”

***

 Jongin POV

Saat ini, aku akan menampar siapapun yang berkata bahwa Seoul adalah kota yang paling menentramkan. Mungkin aku tak perlu menampar mereka, cukup mengacungkan jarum suntikku yang super-besar itu, pasti orang yang masih menghargai nyawa akan terbirit-birit.

Sepertinya perlu kujelaskan mengapa aku mendadak mengomel tak jelas begini. Sebenarnya halnya cukup sepele. Aku seorang dokter, dan kebetulan hari ini mendapat jadwal jaga malam. Seharusnya, hari ini aku bebas dari jadwal praktik, namun ayahku yang tak berperasaan itu mendadak mengubah jadwalku dan membuatku harus meninggalkan malam mingguku, dan berkencan dengan pasien-pasien tercintaku ini.

Dan ayahku yang sialan itu juga tak berkata bahwa aku harus pulang dini hari!

Keparat. Ini sudah jam 11 malam, dan biasanya aku sudah mengukir mimpi indah. Atau barangkali, aku masih bekerja pada jam ini –mengingat aku adalah seorang CEO juga– tapi setidaknya aku sudah home sweet home sejak tadi!

Dan aku tak tahu ini perasaanku saja atau bagaimana. Atau barangkali, aku malah sudah gila. Rasa-rasanya, malam ini lebih gelap dari biasanya. Dan lebih menyeramkan pula. Sedikit aneh, karena aku sudah sering melewati jalan ini, dan seharusnya sudah tak takut dengan apapun yang akan terjadi di sini.

Namun suasananya begitu ganjil. Jalanan sepi nyaris tak ada mobil –mungkin hanya satu dua yang lewat selain mobilku. Trotoar terlihat kosong tanpa orang-orang yang berlalu lalang. Bahkan lampu jalanan mati. Dan sialnya, hujan lebat sedang turun.

Mendadak, suara sirine ambulans yang akrab di telingaku muncul. Dan lampu merah kelap-kelip itu memenuhi spion mobilku. Karena aku punya hati –dan karena aku juga seorang dokter–, aku pun meminggirkan mobilku dan membiarkan ambulans tersebut lewat duluan.

Namun setelah 10 menit berlalu, tak ada mobil yang lewat. Rasanya aku sudah mulai gila beneran.

***

Author POV

Dering weker yang memekakan telinga mengganggu tidur Jongin. “Wait a moment please,” Jongin menarik selimutnya hingga menutupi seluruh wajahnya. Ia sengaja tak berkata ‘wait a minute’ karena ia berencana untuk tidur lebih dari satu menit. Mungkin lebih dari satu jam.

“Jongin-a. Appa sudah mau berangkat. Kau mau ditinggal atau bagaimana?” Appa Jongin mengetuk pintu kamar dokter muda tersebut. Memang luar biasa, bisa menjadi dokter di usia 21 tahun –Jongin selalu ikut kelas akselerasi semasa high schoolnya– dan sanggup menyelesaikan kuliah kedokteran dalam waktu 4 tahun.

Appa, aku masih mengantuk.” Jongin menguap dan tetap menyandarkan badannya di kasur king size berkanopi tersebut. Menyadari siasatnya tidak mempan, appa Jongin langsung masuk ke kamar anak semata wayangnya itu. Menemukan Jongin masih terbalut rapi dalam selimut tebal, ia tak segan-segan menarik paksa selimut Jongin.

“Berangkat sekarang. Kau tahu ini sudah jam berapa?” Appa Jongin mengambil weker dan menghadapkannya tepat di wajah Jongin. “Aish, appa. Semalam aku lembur, tak apa kan kalau aku telat sedikit?” Jongin membantah appanya namun tetap mempertahankan selimutnya. “A-ni-yeo. Kau memang bisa terlambat tapi appa tidak. Bangun dan cepat mandi. Kau bisa sarapan di mobil.”

Blam! Suara pintu dibanting menjelaskan Jongin bahwa ia harus segera bangun. Dengan terpaksa, ia menyeret kakinya yang selalu menjadi 5 ton lebih berat setiap pagi. Menuju kamar mandi.

***

“Selamat pagi, Tuan Jongin.” Seorang petugas valet menyapa Jongin dengan sikap penuh sopan santun. Ia membukakan pintu mobil bagian pengemudi, menunggu Jongin keluar, lalu menerima kunci mobil dari namja berambut hazel tersebut. Jongin hanya tersenyum singkat pada petugas itu, lalu merapihkan jas putih yang setiap hari menempel di tubuhnya.

Suasana hiruk pikuk di rumah sakit langsung menyambut Jongin yang baru tiba di lobby utama. Derai tangis baik tangisan sedih maupun terharu sekaligus bahagia langsung memenuhi indra pendengaran Jongin. Suasana seperti ini sudah sangat biasa bagi Jongin. Namun ada satu hal yang baru kali ini ia lihat. Seorang yeoja berambut pirang, mengenakan pakaian rumah sakit, namun tak ada luka di tubuhnya, bahkan ia kelihatan segar bugar.

Yeoja itu tersenyum tipis ke Jongin, dan jujur saja, Jongin menganggap senyuman itu sangat amat menawan. Wajahnya sangat cantik, dengan mata yang tak terlalu sipit namun juga tak lebar, hidung mancung, bibir tipis, dan dagu yang sedikit terangkat, menunjukkan bahwa pemiliknya punya kharisma, atau mungkin malah sombong.

Jongin sebenarnya ingin menghampiri yeoja itu, namun ia ingat tugas memanggilnya. Maka, ia hanya melewati yeoja itu, tersenyum ramah, lalu meninggalkannya. Jongin terus berjalan dan berhenti di depan sebuah lift tabung yang memiliki cermin. Sambil menunggu lift tersebut ‘menjemputnya’, Jongin mengalihkan pandangannya ke yeoja tersebut. Namun yang dicari sudah hilang seperti ditelan bumi. Senyum Jongin langsung lenyap.

***

“Ugh…” Jongin melenguh seraya meregangkan ototnya. Ia baru saja menyelesaikan praktek sebagai dokter, dan saat ini sudah lebih dari jam makan siang. Jongin baru ingat, bahwa tadi pagi ia tak sempat sarapan karena terlalu terburu-buru. Tiba-tiba, bibir Jongin membentuk seulas senyuman.

“Ini berarti, aku memiliki alasan pada appa untuk bolos pekerjaan barang satu jam. Aku bisa menggunakan alasan belum sarapan dan ia pasti tak akan marah padaku.”

Jongin langsung melompat dari kursi kerjanya, meninggalkan setumpuk dokumen tentang data-data pasien dan administrasi, lalu ia langsung berlari keluar ruangan yang menjemukan itu. Dan mengumpat kesal begitu sampai ke cafeteria.

Seingatnya, cafeteria di rumah sakit itu tak terlalu ramai. Tentu saja. Seoul International  Hospital merupakan rumah sakit megah yang dilengkapi berbagai fasilitas, termasuk supermarket dan restoran fast food terkenal. Biasanya, orang-orang akan memilih untuk mendatangi restoran fast food tersebut karena harganya jauh lebih terjangkau daripada cafeteria rumah sakit yang mahalnya ampun-ampunan. Namun saat ini, cafeteria tersebut bagaikan department store yang sedang sale besar-besaran.

Dengan terpaksa, Jongin mengantre di satu kios yang paling ia sukai. Namun, takdir tak berpihak padanya. Saat sudah lelah mengantre, ternyata makanan yang dijual di kios tersebut sudah habis. Dan dengan terpaksa, Jongin hanya bisa membeli minuman di kios tersebut. Jongin berlalu sambil mengumpat dalam hati. Dan umpatan dalam hati itu lolos saat ia tak menemukan kursi kosong di cafeteria tersebut.

“Uhm, Dokter Jongin?”

Emosi Jongin kembali tersulut saat mendadak bahunya ditepuk dengan pelan. Rasanya, ia ingin memaki-maki pemanggilnya tersebut. Sudah kelaparan, tak ada tempat duduk kosong, masih saja ada yang meminta bantuanku? Jongin mengerang dalam hati. Namun saat Jongin berbalik dan menatap garang pemanggilnya itu, kata-kata yang sudah ia rangkai mendadak lenyap tak berbekas dari otaknya.

Orang itu adalah si pirang yang tadi.

“Oh. Ada apa?” Jongin memasang senyumnya yang terlebar, berharap yeoja itu luluh padanya.

Ani. Aku melihat Dokter sepertinya membutuhkan kursi kosong. Kebetulan, di sebelahku, ada kursi kosong.” Yeoja itu menarik satu ujung bibirnya ke atas, sambil menepuk sandaran kursi di sampingnya. Jongin hanya melongo memandangi yeoja itu, lalu buru-buru memasang sikap cool dan menangguk.

“Ah. Kamsahamnida.” Jongin segera duduk di hadapan yeoja pirang itu. Yeoja itu mengangguk singkat, membalas ucapan Jongin. “Aku Jung Soojung.” Yeoja itu mengulurkan tangannya ke Jongin, dan langsung disambut oleh Jongin. “Jung Soojung? Nama yang indah. Apa aku perlu mengenalkan diriku juga?” Jongin tertawa singkat.

Jinjja? Ah, kamsahamnida, Dokter. Tak perlu. Aku sudah mengenal dokter.” Soojung tersenyum menanggapi pujian Jongin.

“Tapi tak etis rasanya jika aku tak mengenalkan diriku. Aku Kim Jongin. Jika usiamu dan usiaku sama, 21 tahun, kau tak perlu memanggilku Dokter Jongin.” Jongin menyeringai saat memperkenalkan dirinya.

“Kebetulan sekali. Aku juga berumur 21 tahun. Kuharap kita dapat menjadi teman baik.”

“Ya, kuharap begitu, Soojungie.”

***

First mission, success.

Jauh dari sekadar gampang mengelabuinya.

***

Bagi Jongin, bekerja malam sudah bukan malapetaka lagi. Bahkan, sekarang Jongin menganggap rumah sakit lebih menyenangkan dari rumahnya sendiri. Jongin semakin semangat bekerja, selalu ramah terhadap pasien maupun rekannya, serta terlalu sering tersenyum.

Semua itu karena Soojung.

“Yah, Jongin. Kalau kau malas-malasan setiap hari, bagaimana kau bisa jadi dokter yang baik?”

“Jonginnieeeeeee! Sejak kapan kau makan sampai 1 jam? Ayo cepat selesaikan, kau harus bekerja!”

“Jongin-a. Kau selesai praktek jam 5 kan? Aku menunggumu di taman ya!”

Dan lain sebagainya.

Namun Jongin masih mengherankan satu hal. Soojung selalu memakai pakaian rumah sakit, namun Jongin tak pernah tahu di kamar mana Soojung dirawat. Atau oleh dokter siapa Soojung dirawat. Selama ini, mereka hanya bertemu di taman, di cafeteria, di parkiran rumah sakit, dan di tempat-tempat lain. Namun tak satupun tempat tersebut berkaitan dengan Soojung.

“Soojungie. Kau di rawat di kamar berapa? Dan oleh siapa? Kalau aku sanggup merawatmu, biar aku mengganti doktermu saja!” Jongin bertanya pada Soojung saat mereka sedang berada di taman.

“Ra-ha-si-a. Namun jika aku memberitahumu pun, aku tak mau dirawat olehmu! Kau kan tidak sabaran,” Soojung tersenyum lebar saat menjawab Jongin yang langsung cemberut.

“Yah, demimu aku akan menjadi manusia paling sabar.” Jongin terus-terus membujuk Soojung untuk memberitahunya.

Aniyeo! Nanti kau malah cari kesempatan denganku lagi.” Soojung tergelak saat berdebat dengan Jongin. Jongin yang awalnya menunjukan muka masam, ikut tergelak melihat Soojung.

“Tapi–”

“Ah, Jongin! Sekarang sudah jam 2. Kau harus praktek kembali kan?” Soojung memotong perkataan Jongin, dan mengamit pria itu ke ruang prakteknya dengan paksa. Setelah memastikan Jongin masuk, Soojung pun langsung berlalu.

Suara sirine menyela lamunan Jongin. Jongin menyipitkan matanya, melihat lampu merah yang berkedip heboh itu sudah memenuhi spionnya. Suaranya yang nyaring pun semakin jelas. Jongin kembali meminggirkan mobilnya, membiarkan ambulans itu lewat dahulu. Namun seperti biasanya, tak ada mobil lewat sama sekali setelah 10 menit berlalu.

Dan entah kebetulan atau tidak, hal ini sangat sering terjadi semenjak ia bertemu dengan Soojung. Setelah memikirkan Soojung, sirine tersebut selalu muncul di belakang Jongin. Dan tak pernah benar-benar ada ambulans yang lewat. Jongin langsung menstater mobilnya, dan kembali fokus pada jalanan.

***

Jongin menganggap hidup itu indah semenjak kedatangan Soojung.

Namun orang lain menganggap Jongin itu gila.

***

3 bulan sudah berlalu semenjak pertemuan Jongin dan Soojung. Mereka semakin dekat dan akrab, tanpa Jongin benar-benar mengetahui identitas Soojung. Namun, bagi Jongin, melihat senyum ceria Soojung di sampingnya, perhatian Soojung dan nasehat-nasehat yang melimpah untuknya, sudah lebih dari sekadar cukup bagi Jongin.

Dan saat ini, Jongin tengah bersenandung riang. Tadi pagi, ia menyatakan cintanya pada Soojung. Soojung tak menolak pernyataan Jongin. Tapi, yeoja pirang itu juga tak menerimanya. Soojung berkata, akan menjawab pernyataan Jongin dua hari lagi. Namun, Soojung mengajukan satu syarat yang aneh namun sangat mudah.

“Soojungie. Menurutmu aku berubah tidak?”

Ne. Kau semakin tampan?”

Aniyeoooooo. Selain itu?”

“Em.. Aku tidak tahu Jonginnie. Coba beritahu aku.”

“Aku menjadi semakin semangat bekerja, aku menjadi lebih periang, aku menjadi lebih ramah. Setidaknya itu yang aku dengar. Aku sudah tidak menghabiskan malamku dengan memaki-maki pekerjaan yang menumpuk ataupun appa yang semakin lama semakin gencar memberiku tugas.”

“Wah, itu perubahan yang baik Jonginnie. Kuharap kau bisa menjadi lebih baik lagi, dan menjadi sosok dokter yang sempurna.”

“Kau tahu tidak, mengapa aku berubah?”

Soojung menggeleng pelan dengan matanya yang membulat.

“Kau tahu? Dirimu!”

“Mengapa aku? Bukankah setiap hari aku hanya mengomelimu?”

“Kau bagai karbohidrat dalam hidanganku. Kau selalu memberiku energi dan kekuatan. Kau bagai cheerleader bagi pemain basket. Kau selalu menyemangatiku sepenuh hatimu. Kau bagai buku pedoman. Kau memberitahuku apa yang boleh kulakukan dan apa yang tak boleh kulakukan. Kau bagai weker dalam pagiku. Kau selalu mengingatkanku setiap waktu.”

Soojung hanya ternganga lebar, matanya mulai berair mendengarkan Jongin.

Saranghae, Jung Soojung. Will you be my girl?”

“Aku tak bisa menjawabmu sekarang, Jongin. Mianhae.”

Jongin mencoba menyembunyikan kekesalanya. “Waeyo?”

“Beri aku waktu dua hari lagi. Dan aku berjanji akan menjawabnya. Namun.. Boleh aku minta satu permintaan?”

“Apapun demi dirimu.” Jongin tersenyum pada Soojung, yang langsung dibalas dengan tangkupan di pipi Jongin.

“Setiap kau mendengar suara sirine, atau melihat sirine, tolong menyingkir.”

“Itu sangat mudah! Aku berjanji.”

***

Lembut, bersahabat, dan berhati-hati. Namun penuh tipu muslihat

Tak sulit.. karena yang akan terjadi pasti terjadi.

***

Hari esoknya, Jongin dan Soojung bertemu kembali di taman setelah Jongin selesai praktek. Mereka menjalani hari dengan biasa, seolah pernyataan Jongin kemarin itu tak terjadi. Candaan dan tawa mendominasi percakapan mereka, namun pekikan dan omelan juga terselip beberapa kali.

“Jongin-a! Kau masih ingat janjimu kan?”

“Hei! Memangnya wajahku terlihat seperti kakek-kakek pikun?” Jongin mengerucutkan bibirnya.

“Kalau dilihat dari kerutanmu.. kulitmu yang kendor..”

“YAH!” Jongin memekik kesal.

Ani, ani. Kalau dilihat dari matamu yang indah itu..” Soojung menjeda perkataannya sambil berpikir. Jongin berharap-harap dan menyela Soojung, “Umurku masih muda kan?” Soojung menjentikkan jarinya, seolah mendapat ilham dari langit. “Tidak! Dari matamu yang indah itu.. kau terlihat seperti panda.” Gelak tawa Soojung pun disambut dengan cubitan di pipi Soojung.

“Ahah- oke aku serius. Kau masih ingat kan?”

“Tentu saja, Soojungie. Bagaimana denganmu?”

“Tidak.. aku sudah lup- AH!” Jitakan di kepala Soojung membuat sang empunya mengaduh kesal. “Ya, ya. Aku masih ingat kok!”

“Kukira kau sudah seperti nenek-nenek pikun kondean.”

“Lebih baik kau tutup mulut jahilmu kalau kau masih mau bekerja dengan tangan normal hari ini.”

“Memang mirip nenek-nenek. Galak, menyebalkan, suka mengomel, dan pikun.”

“JONGIN!!!!” Soojung mengejar Jongin yang tertawa riang dengan jas putihnya.

***

Mudah sekali. Ia memang tak curigaan.

Bahkan ia tak paham anggapan orang-orang mengenai dirinya.

***

Hari yang aneh.

Setelah siang tadi bermain kejar-kejaran dengan Soojung, sore ini Soojung tak menemuinya. Mungkin Soojung ngambek, atau mungkin juga, Soojung sedang sibuk. Sibuk dengan pemeriksaan maskudnya.

1 jam berlalu, dan Soojung juga tak menunjukkan batang hidungnya. Mendadak, mood Jongin menjadi buruk. Jongin akhirnya memilih untuk meninggalkan taman, karena jam 6, pasien sudah tak boleh keluar kamar. Jongin memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya saja, agar di rumah nanti ia bisa dengan puas menghayalkan peristiwa-peristiwa indah bersama Soojung.

Jongin sampai di ruang kerjanya, dan dengan cepat dan cermat mengisi data-data pasien, keperluan administrasi, pemasukan dan pengeluaran hari itu, juga saham-saham yang dibeli perusahaan lain. Akhirnya, jam 9 malam tiba, dan pekerjaan Jongin sudah selesai. Saat ini, Jongin merasakan yang dinamakan lelah jiwa dan raga. Tenaganya seakan terkuras  habis, fisiknya, pikirannya, hatinya juga lelah.

Jongin memutuskan untuk meminum bir barang satu kaleng. Ia turun ke supermarket, dan membeli satu bir dengan alkohol terendah. Lalu Jongin mengistirahatkan dirinya di sofa besar di ruang kerjanya sambil meminum bir.

Tok, tok, tok.

“Masuk.”

Suara derit pintu yang berat membuat perhatian Jongin terpusat sepenuhnya pada pintu tersebut. Mendadak, sosok appanya sudah keluar dari luar ruangannya.

“Jongin-a. Mobil appa mendadak rusak, tidak mau distater. Bagaimana kalau kita pulang bersama?”

“Baiklah appa. Appa tak lembur kan?”

“Tidak. Kau juga sudah selesai?”

Ne. Tapi appa saja ya yang menyetir? Aku lelah~” Jongin mengamit lengan ayahnya, dan mulai menunjukkan aegyo yang membuat ayahnya terbahak.

“Kau sudah berusia 21 tahun Jongin. Seharusnya kau yang menyetir untuk appa. Tapi yasudahlah. Untuk kali ini saja.”

Jongin langsung membereskan barang-barangnya, lalu mengajak ayahnya keluar ruangan mewah tersebut. Mereka berjalan santai menuju lobby dan memanggil security untuk meminta kunci mobil Jongin yang tadi pagi dibawa petugas valet. Ayah Jongin mengambil kursi bagian kemudi, dan Jongin duduk di sebelahnya.

Mobil mereka yang berwarna hitam itu menembus kegelapan malam, melalui jalan yang merupakan rute sehari-hari bagi mereka.

Suara sirine lagi.

Appa, ada suara sirine. Lebih baik kita menyingkir. Biarkan mereka lewat dahulu.”

“Suara sirine mwoya.. Apa kau sudah gila?” Ayah Jongin teringat gossip di rumah sakit yang mengatakan bahwa Jongin suka berbicara sendiri. Namun ayah Jongin menganggap itu angin lalu, karena mungkin saja Jongin hanya kelelahan.

“Tapi benar ada suara sirine, appa! Lihat spion, lampu berwarna merah tersebut terus berkedip-kedip!” Jongin terus berkeras.

“Spion ini kosong, bahkan jalanan di belakang kita juga kosong. Kau hanya berhalusinasi..”

“Tidak, appa. Kumohon. Menyingkirlah sebentar, kita kan punya hati.”

“Tak usah Jongin. Sekarang sudah malam, lebih baik kita segera sampai rumah.”

Jongin sudah mau membuka mulut, namun mengatupkannya kembali. Ia ingat pesan Soojung untuk menyingkir setiap sirine lewat. Jongin mendengar dan melihat sirine, namun ayahnya tidak. Jongin pun membiarkan ayahnya terus menyetir di kegelapan malam.

Dan tiba-tiba, suara tabrakkan yang sangat keras terdengar, dan mobil hitam tersebut mental beberapa meter ke depan. Hanya satu dari kedua pengendara itu yang terluka.

“Kau melanggar janjimu, Jongin..” Suara yang mencekam dan menakutkan memenuhi gendang Jongin sebelum akhirnya Jongin tak sadarkan diri.

***

Perlahan-lahan namun pasti.

The show will begins.

***

 Kecelakaan aneh tersebut hanya memakan satu korban, namun bukan korban jiwa. Ayah Jongin memang tak sadarkan diri, tapi tubuhnya segar bugar dan tak terluka sama sekali. Berbeda dengan Jongin. Tubuhnya dibalut berbagai macam perban, dan kakinya dibalut oleh dua gips tebal.

Padahal hari ini, Soojung akan memberikan jawaban bagi Jongin.

Ayah Jongin terus-terusan menunggui putranya sepagian itu. Ibunya tak diberitahu, karena Jongin tak mengalami luka selain lecet-lecet dan satu luka besar di kepalanya. Tak ada yang parah, tak ada yang perlu dijahit, tak ada yang perlu dioperasi. Bahkan Jongin diperkirakan bisa keluar dari rumah sakit dan kembali bekerja keesokan harinya.

Jarum pendek menunjukkan angka 9. Ayah Jongin harus meninggalkan putranya, dan kembali bekerja. Jongin yang terduduk di kamar VIP itu hanya mengangguk sambil berusaha melambaikan tangannya, dan menolak tawaran ayahnya yang ingin mengirim satu suster. Jongin berharap, Soojunglah yang akan menemaninya.

10 menit berlalu sejak ayah Jongin meninggalkan Jongin sendiri. Tak ada yang istimewa, Jongin hanya bisa terduduk lemas, mengamati siaran TV yang membosankan. Tanpa ia sadari, Soojung sudah berada di samping Jongin.

“Soojungie! Akhirnya kau datang juga! Bagaimana jawabanmu?” Jongin berseru riang pada Soojung yang saat itu terlihat tak berekspresi.

“Kau melanggar janjimu.” Suara Soojung yang rendah itu penuh kecaman. Mengingatkan Jongin pada suara yang tadi malam ia dengar sebelum akhirnya ia pingsan.

“Melanggar.. tapi kemarin ayahku tak melihat sirine. Jadi kupikir tak ada sirine lewat.” Jongin mulai menjawab Soojung dengan takut-takut.

Mendadak, seberkas cahaya gelap menyelimuti kamar Jongin. Pakaian Soojung yang awalnya hanya pakaian rumah sakit berwarna hijau tosca, berubah menjadi gaun hitam panjang dan jubah merah yang menimbulkan kesan gagah sekaligus misterius. Wajahnya yang tadinya putih, menjadi semakin putih, ditambah lingkaran hitam di sekitar matanya. Sinar mata yang biasanya ceria itu kini begitu keji dan licik. Bibir mungil yang sering tersenyum lebar itu kini tersenyum sedemikian rupa, sehingga terlihat culas.

“Kau hanya seorang manusia tak berharga bagiku. Kau hanyalah korban, yang akan kusembahkan pada appaku agar aku bisa menikah.”

Jongin hanya menganga lebar, tak menyangka kedekatannya dengan Soojung selama ini hanyalah tipuan semata. Ia lebih menganga lagi, saat tangan Soojung yang tadinya menutupi mulut Soojung selama ia berbicara, terbuka. Di dalam rahang Soojung, terdapat empat taring panjang yang terlihat mengerikan.

“Maaf, Jongin.”

Soojung memeluk Jongin, dan menggigit bagian belakang leher Jongin. Dihisapnya darah Jongin selama beberapa saat, sampai akhirnya mulut Soojung terasa penuh. Soojung lalu memuntahkan darah Jongin ke botol kecil berlabel emas. Soojung merogoh sakunya, lalu mengeluarkan obat tidur dan obat yang membuat Jongin bisa melupakan dirinya. Soojung mengambil infus Jongin, memasukkan obat yang berupa cairan tersebut. Lalu, ia berkata, “Selamat tinggal Jongin.”

Di belakang tubuh Soojung, muncul sepasang sayap berwarna hitam. Sayap itu mengepak, membawa Soojung pergi bersama sebotol darah Jongin. Ajaibnya, luka bekas gigitan Soojung memudar, dan Jongin langsung tertidur pulas. Kamera CCTV yang menangkap mereka pun, tak bisa menyiarkan adegan yang mereka lakoni tadi, entah bagaimana Soojung melakukannya.

***

“Selamat Soojung, pesta pernikahanmu akan dilaksanakan seminggu lagi.”

“Ya, terimakasih appa. Apakah Sehun sudah tahu bahwa aku sudah kembali?”

“Belum. Temui dia langsung saja, agar kau bisa memberinya kejutan. Saat ini, ia ada di kastilnya.”

“Ah, arasso.”

Soojung pun tersenyum pada ayahnya, dan langsung berlari ke kastil Sehun yang berada di seberang kastil keluarga Jung.

***

“Kau sudah menemukan orangnya?” sesosok Dracula perempuan berambut cokelat lurus sedang menyesap cairan merah berbau anyir di meja antik depan kastilnya.

“Belum. Padahal aku harus segera menikah.” Dracula perempuan di seberangnya menggeleng pelan dengan sedikit putus asa.

“Bagaimana kalau orang ini?” Jinri, Dracula berambut cokelat itu menunjukkan foto seorang manusia yang mengenakan jas putih. “Aku hanya memilih orang random. Tapi profesinya sebagai dokter cocok dengan calon suamimu. Bukankah kita harus mencari korban yang berprofesi sesuai dengan calon pasangan kita?”

“Sepertinya tak sulit.. Oke, aku akan menggunakannya. Aku diberi waktu 5 bulan, kalau tidak aku tidak bisa menikah.” Soojung mengangguk, dan berhigh-five dengan Jinri.

“Baiklah, hati-hati. Semoga kau bisa kembali, dan segera memenuhi keinginanmu.” Jinri menepuk bahu Soojung, lalu meninggalkannya untuk bersiap-siap.

***

“Kau tahu? Misimu sudah hampir berhasil. Dokter itu kelihatannya sedikit bodoh.”

“Ya, Jinri. Bahkan kata gampang tak pantas kusebutkan. Orang itu sama sekali tak curiga denganku.”

“Selamat Soojung. Kau sudah selangkah lebih jauh. Sekarang, tinggal buat ia cinta padamu, dan hisap darahnya.”

“Terimakasih Jinri. Wish me luck!”

***

“Orang itu benar-benar bodoh Soojungie! Ia menganggapmu malaikatnya, padahal kau akan menyakitinya. Dan kau tahu? Bahkan orang-orang menganggapnya sudah gila karena sosokmu. Hanya ia yang bisa melihatmu, jadi orang luar yang melihat kalian, seperti melihat Jongin bercanda kepada dirinya sendiri.”

“Hah, aku juga tak tahu kalau ada dokter sebodoh itu. Omong-omong, kau tahu darimana ia menganggapku malaikat?”

“Tenang saja. Sebentar lagi ia akan menyatakan cintanya padamu, sekitar 2 bulan lagi. Kau harus semakin pandai mengibulinya ya! Dan jangan sampai jatuh cinta padanya, okay?”

“Aye, captain!”

***

“Benar kan, yang kubilang. Ia sudah menyatakan cintanya padamu! Dan kau sangat bijaksana karena tidak menjawab ataupun menolaknya. Ini akan menjadi pertunjukan yang menyenangkan.”

Yeah. Tapi aku sedikit kasihan padanya, saat itu. Ia terlalu polos dan tak curigaan.”

“Hey, begitulah Dracula seharusnya! Lembut, bersahabat, dan berhati-hati. Tapi penuh tipu muslihat.”

“Ya, aku sudah mendengar kata itu sekitar seratus kali. Tapi tak salah kan aku memancingnya tadi?”

“Tidak. Besok malam, ia tak akan menghindar dari suara sirinemu.”

“Kau memang peramal sejati, Jinri.”

“Ya, ya, jangan memujiku. Kau perlu fokus saja. The show will begins.”

END

A/N: Hello! Ini ff fantasyku yang pertama e_e idenya mepet, ceritanya ngebut, alur gak rapi T_T mianhae banget ya, aku bener-bener kyk kesurupan waktu bikin ff ini. Red Light ini cuma ambil judul lagu f(x), tapi ceritanya bener2 murni h3h3h3. Hope you like it ya, dan jangan lupa comment!

17 thoughts on “[Kaistal FF Monthsarry] Red Light

  1. Iniiiii kereeen! fantasy nya dapet tapi endingnya uh </3 kenapa ga sama jongin huhu jadi berasa baca angst hahaha good job! keep writing yaaa semangaatttt

    Like

    • wahahahahah seriously???o u o thanks ya sudah baca fic aku dan comment juga < 3 iya, kebetulan idenya sih nanti soojung jd jahat T_T WKWKWK terimakasyi sudah semangatin aku < 3

      Like

    • terimakasyi sudah baca fic aku dan comment juga!< 3 hehehe lebih gampang bikin cerita fantasy dengan ending mereka gak jadian nih T_T kasian jonginnya ya, ditipu sm soojung (curcol)

      Like

    • whoaaaa aku malah tersnajung dipuji serem o u o WKWKWKWK kalo aku jd jongin, pas ending cerita ini aku langsung mati aja-_-:”) thank you ya sudah baca dan comment di fic aku < 3

      Like

    • COCOK BANGET JUDULNYA RED LIGHT.
      Itu kan ada lampu ambulans gitu yang merah-merah jadi yaa cocok deh (apa) (ngelantur)

      Pas di bagian ntah di mana(?) aku udah ngeduga, jangan-jangan Soojung+ambulansnya itu yang bisa liat, ngerasaain, denger (?) cuma Jongin seorang doang.

      Rupanya betul, nyoehehehe.

      Pas Soojung bertansformasi jadi dracula itu emang asdfghjkl gak bisa bayangin gimana muka cantik Soojung berubah jadi kek gitu, ish -_- (ditabok author)

      “…puas menghayalkan peristiwa-peristiwa indah bersama Soojung.”

      Wqwqwqwq, kasian amat Jongin ampe ngayal gitu, HAHAHAHAH.

      Agak gimana gitu sih kalau Soojung gak sama Jongin, sigh. But ga papa kali yang penting org itu ada momen bersama hehehehe.

      Intinya, FF ini Daebak! Suka banget sama alurnya yang asadffghjklas, trus semua misterinya udah terungkap gitu jadi endingnya gak gantung ❤

      Like

      • iya krystalnya dracula, dan dia butuh tumbal buat nikah sama sehunnie ;;-;; jahat ya //ditabok//
        dan emang biar mulus (???) aku bikin cuma jongin yg bisa tau sirine, ayahnya gak tau jadi waktu kecelakaan cuma jongin yang kena X)))) jongin mah kegeeran (???) kebanyakan berkhayal ttg soojungie wkwkwk<3

        makasih banget ya udah sempetin baca ficku dan comment juga!luvs

        Liked by 1 person

    • maaf ya aku baru bales, baru baca soalnya X))) itu biar endingnya enggak mainstream (???) andddddd aku emang udah rencana dari awal krystalnya jahat ;;-;; //ditabok. slapped//

      makasih banget ya udah sempetin baca ficku dan comment juga!luvs

      Like

  2. aku baru baca ini dan yah, ini agak serem sejujurnyaa xD
    Soojung cantik-cantik tapi jadi php-in orang wkwkw xd
    aku suka ceritanyaa, keren :3

    Like

Arcadian's Say