[Oneshot] Last Witch

lastwtch

Last Witch

Some certain calls from the bottom of heart

Scripted by

Mizuky (@qy_zu)
|| Length: Oneshoot | Main Cast: Krystal Jung [Jung Soojung’s F(x)] and Kai [Kim Jongin’s EXO] | Support Cast: Jessica Jung | Genre: Romance, Family, AU! Fantasy, Slight!Sci-fi | Rating: PG-13 ||

Summary:
Seorang gadis kecil yang berumur 15 tahun, ia bernama Soojung, bersama kakaknya, mereka berdua terlempar ke sebuah dunia yang tidak mereka ketahui. Anehnya, di dunia ini, kakaknya mengalami penyakit langka dan tak sadarkan diri.

Di dunia inilah, Soojung yang masih remaja harus terpaksa beradaptasi dengan lingkungan baru. Dia pun berusaha untuk menyembuhkan Kakaknya. Apa yang akan dia lakukan? Apa Kakaknya berhasil sembuh?

“You’re my precious. Once i lost you, i’ve nothing. I will be your guard, promise. So, please hear me… please, open your eyes….”


.
.
.

Cerevonia, Daerah Selatan Kota Chelokov.
08.00

 

Cerevonia, tempat di mana sekarang aku tinggal. Distrik citra di mana orang-orangnya mengenakan pakaian kuno ala Eropa abad Victoria. Aku sesungguhnya tidak begitu mengerti wilayah ini. Sejauh yang kulihat semua tampak sama, tapi hanya sebuah kefanaan. Kupikir waktu 5 tahun untuk menetap di sini bisa membuatku beradaptasi dengan lingkungan sekitar, namun aku bukanlah pribadi terbuka seperti itu.

Sungguh, aku sangat merindukan kehidupanku di dunia seberang sana. Setidaknya tampak lebih normal dari kehidupan Cerevonia. Ini masalah rupa manusia Cerevonia. Kalau boleh kubilang, rupa orang-orang Cerevonia hampir seluruhnya diatas rata-rata. Kau bisa menemukan orang tampan berwajah sempurna khas orang Barat di duniamu hanya dengan menengok sebelah rumah saja di dunia ini. Biaya hidup Cerevonia pun tak mahal, setidaknya hanya dengan 1 sen saja kau sudah bisa makan selama 1 minggu. Orang-orang di sini pun ramah, yah asalkan kau tak selalu mengumbar senyum setiap saat, maka kau tak akan dianggap aneh oleh mereka. Ah ralat, tidak semuanya ramah. Contohnya James Hawk yang rumahnya berbeda 3 blok dari rumahku, entah kenapa dia selalu mengirimkan sup gurita hidup ke rumahku. Tingkahnya yang secara jelas dan terang-terangan mengincarku sungguh membuat perutku mulas dan ingin rasanya kutendang dia jauh-jauh. Namun, adat Cerevonia yang mengharuskan seorang perempuan bertingkah halus dan sopan layaknya puteri Kerajaan benar-benar mengekang tiap polahku.

Menyebalkan.

 

“Hai, Krystal! Pagi-pagi sudah melamun.”

Ah, aku dikejutkan oleh suara seseorang. Namaku di dunia virtual ini adalah Krystal. Lidah mereka tak bisa mengucapkan nama Soojung secara baik dan jelas.

“Ah, Bi Veno! Sudah mau berdagang?”

Veno Van Zeirdo. Itulah nama wanita yang berumur 32 tahun itu. Wajahnya selalu terlihat menyejukkan, ia sangat baik kepadaku—dia selalu mengirimiku makanan untuk makan malam, suaranya lembut dan merdu, bola matanya berwarna ungu terang yang indah. Dia merupakan seorang wanita pekerja keras, telah bercerai dengan suaminya, dan merawat seorang anak perempuan yang masih berumur 13 tahun.

“Ya, titip rumah ya. Nanti kubawakan lobak dan ikan untukmu,” ucapnya. Ia lalu merapikan pakaiannya, menaruh dagangan di jok belakang sepeda, dan mulai mengayuh. Sesaat ia melambai kepadaku dan kubalas singkat.

Baru aku ingin menutup jendela kamar, sudah ada seseorang lagi yang memanggilku.

“Krystal, apa kau sedang tak sibuk hari ini?”

Seorang kakek tua yang kuingat bernama lengkap Pheisto Van Han terlihat kesusahan untuk mengambil sesuatu. Aku pun segera bergegas untuk membantunya.

“Ya, Kakek. Ada apa?” tanyaku.

Setidaknya aku berusaha beramah tamah kepada tetangga-tetangga sekitarku. Karena, kata kakakku jika kau berbuat baik kepada seseorang, maka alam akan menolongmu. Awalnya kupikir itu hanya sederet kalimat bijak darinya, namun siapa sangka, nasihat bijak yang terdengar kolot di telingaku rupanya benar-benar menjadi penolong hidupku saat ini.

“Krystal, Krystal! Apa kau masih hidup?”

Seru sang Kakek membuat kesadaranku tertarik. Aku meresponsnya—walau terlambat—dengan sebuah senyum kecil. Kemudian aku berjongkok di sebelahnya sambil menyingkap rambut kepangku ke depan.
“Ya, Kek. Maaf Krystal sedikit melamun sebentar tadi.”

“Perempuan tidak baik untuk melamun sepagi ini. Begini, bisakah kau bantu Kakek untuk menyiram bunga-bunga ini? Aku harus ke kota untuk sebuah keperluan. Bisa, ‘kan?” pintanya dan aku hanya mengangguk.

“Ya, akan Krystal bantu. Lagi pula sayang kalau bunga-bunga ini harus layu karena tak disiram. Oh ya, Kakek kalau ke kota bisakah belikan Krystal obat kina? Untuk kakak. Ini uangnya.” Kemudian kuberikan 5 pond kepada kakek Pheisto.

“Baiklah. Ngomong-ngomong, apa kau masih punya bahan makanan untuk makan siang? Kalau tidak, bisa sekalian aku belikan.”

Aku menggeleng pelan. “Tidak perlu, tapi terima kasih, Kek. Aku masih memiliki banyak persediaan bahan makanan. Lagi pula Bi Veno akan membawakan lobak dan ikan untukku. Obat kinanya jangan lupa ya, Kek,” ulangku lagi, ditambah dengan sebuah senyum kecil.

Kakek Pheisto mengangguk lalu pergi setelah memberhentikan sebuah delman dan ia pun memulai perjalanannya. “Hati-hati ya, Kek! Obat kinanya jangan lupa!” seruku lagi. Sedikit kurang ajar memang, tapi siapa yang berani memastikan kalau ia tak akan lupa?

Kupandangi langit sebentar, rasanya hari masih pagi namun sinar matahari sudah menyengat begitu terik. Sebaiknya aku harus melakukan pekerjaanku dan menyudahinya sesegera mungkin.

 

***

 

Sekitar pukul 9 pagi aku sudah bergegas untuk ke hutan mengambil ranting pohon dan beberapa tanaman obat-obatan. Pasar biasanya buka sekitar pukul 10 pagi dan tutup pukul 12 siang, lebih awal dari biasanya karena hari ini adalah hari istimewa. Setiap pukul 12 siang di hari quarta, sudah menjadi kebiasaan Kerajaan untuk membagikan bubur Kasha (sejenis bubur kacang hijau yang dikasih santan dan ditambah wortel) ke rakyatnya.

Sesampainya di hutan, aku segera mengumpulkan ranting pohon kering yang lumayan banyak agar sisa yang tak kujual bisa kugunakan sebagai kayu bakar. Di sana sudah terdengar suara senapan—ada banyak pemburu unggas dan babi liar di sini, karenanya aku harus waspada. Lengah sedikit, bisa-bisa mereka salah mengiraku sebagai angsa liar dan segera menembak jantungku. Itu benar-benar berbahaya.

Tak butuh waktu lama, tiga ikat ranting pohon dan beberapa tanaman obat sudah berhasil kukumpulkan. Kemudian aku menumpuknya menjadi satu dan memanggulnya di punggung untuk kubawa ke pasar yang berjarak 30 meter dari hutan.

Namun…..

 

DOR!

 

Sial, siapa yang menembak?!

Aku ternanap kesal karena ranting kayu yang sudah rapi-rapi kuikat menjadi jatuh berantakan. Aku memaki dan mengutuk sejadi-jadinya pada pemburu yang baru saja salah mengiraku sebagai buruan mereka.

“Apa kau seorang manusia?!” Teriak sebuah suara dari seberang. Sepertinya seorang pemuda.

“Tentu saja. Mana ada hewan yang sebesar ini!” sungutku, Bodoh! Aku mengumpatnya dalam hati.

Samar-samar, sepertinya laki-laki itu berlari mendekatiku. Ketika cahaya pelan-pelan mulai meneranginya, aku bisa dengan jelas melihat sepatu kulit cokelatnya. Aku buru-buru merapikan bawaanku karena melihat matahari sudah semakin di atas. Kalau aku terlambat, aku bisa keduluan oleh penjual ranting yang lain dan itu berarti aku tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup untuk beberapa dekade kedepan.

“Ah, Krystal. Maafkan aku. Aku salah mengiramu sebagai burung,” ujarnya.

Sejenak aku bisa melihatnya secara menyeluruh. Warna cokelat dari sepatu dan pakaiannya benar-benar cocok untuk sosok pemuda itu yang berkulit tan. Warna itu menonjolkan sisi maskulin darinya dan mendadak aku merasakan kedua pipiku memanas. Aku ingin bertingkah wajar, namun nyatanya pandangan mataku terus tersedot dalam pusara kharisma kedua mata hitam itu. Aku meneguk liur ketika pemuda itu semakin mendekat. Ah, dia tampan sekali.

Menanggapi ucapannya barusan, aku pura-pura mendengus kesal. “Perhatikan ciri-ciri hewan buruanmu, Kai! Apa kau ingin dagingku sebagai makan siangmu?!” ujarku sinis. Jujur saja, meskipun aku menyukainya, tapi aku masih kesal kepadanya. Nyawaku benar-benar di ujung tanduk tadi.

“Bukan begitu. Kan aku sudah meminta maaf tadi.”

Setelah membenarkan letak bawaanku agar nyaman saat membawanya, aku bergegas menuju pasar. Berniat untuk meninggalkan laki-laki itu—sekaligus menenangkan debaran jantungku yang mulai tak menyenangkan.
“Hei, Krystal. Tunggu aku!”

Tak tahu sejak kapan, namun kami sudah berjalan beriringan bersama menuju pasar Cerevonia. Ia seumuran denganku—15 tahun. Nama sapaannya adalah Kai. Aku tidak tahu nama lengkapnya karena—yah—dia keturunan bangsawan jadi tak pantas bagi rakyat bawah sepertiku mengetahui nama lengkapnya dan ia pun tak pernah memperkenalkan nama lengkapnya padaku. Kulitnya tan kecoklatan, tinggi, berhidung mancung, rambutnya berwarna cokelat, pribadi yang ramah dan mudah bergaul, matanya berwarna hitam—hitam yang sangat teduh, ia sangat jago berburu, dan juga pintar. Bisa dibilang dia merupakan teman akrabku—atau aku berharap melebihi itu. Rumahnya tepat di depan rumahku.

“Bagaimana kabar kakakmu? Apa dia masih belum bangun?” tanyanya.

“Belum. Padahal aku sudah sering memberinya obat-obatan, tapi dia tak pernah sadar. Jantungnya memang berdetak, tapi napasnya lemah. Aku tidak tahu untuk berbuat apa lagi supaya dia bisa bangun kembali,” ucapku. Sepanjang perjalanan, aku hanya terus menatap ke bawah. Kupikir keheningan ini akan berjalan lama, karena Kai langsung mengatupkan mulutnya begitu membahas masalah ini. Mungkin diriku saja yang kelewat sensitif dalam topik ini.

“Sudahlah, Krystal. Tak usah terlalu dipikirkan. Aku percaya kakakmu pasti akan bangun suatu saat nanti,” ucapnya yang sedikit bisa membuat hatiku tersenyum.

“Terima kasih. Ngomong-ngomong, kau hanya berhasil menembak tiga burung saja? Tumben sekali buruanmu sedikit. Apa kemampuanmu sudah mulai menurun?” lecehku. Dia mencedak dan aku tertawa kecil atas respons terhadapnya.

“Bukan begitu. Kemampuanku masih hebat. Hanya saja sepertinya hewan-hewan liar di hutan sudah sedikit berkurang. Mungkin makin banyak pemburu yang rakus. Ah kalau begini terus bisa-bisa pendapatan keluargaku menurun.”

“Kenapa begitu? Bukankah ayahmu memiliki beratus-ratus hektar tanah? Kupikir kau orang yang berkecukupan.”

Kai mendengus lirih. “Memang, sih. Ya sudahlah. Tapi, apa ranting-ranting itu cukup untuk membiayai hidupmu? Kurasa harganya tak akan seberapa. Kenapa tidak cari pekerjaan yang lain saja? Contohnya menjadi asisten tabib. Kau pintar dalam meracik obat, ‘kan?”

Aku merenung sejenak. “Ah, benar juga. Aku tidak kepikiran. Baiklah, kita berpisah di sini ya. Terima kasih, Kai. Sampai jumpa!” ujarku, lalu aku mengambil jalur ke kanan. Ia pun membalas lambaian tanganku dan di persimpangan inilah kami berpisah.

 

***

Bukit Gray.

Bukit ini terletak di tengah kota. Banyak kabar yang mengatakan bahwa di bukit ini terdapat banyak kutukan. Salah satu diantaranya adalah siapa saja yang menginjakkan kaki di Bukit Gray, maka dia akan mati. Nyatanya, aku yang berulangkali datang dan tidur-tiduran di bukit ini, sampai saat ini masih dapat hidup dengan baik.

Bukit ini sangat berarti bagiku. Pertama kali tempat yang kami—aku dan kakakku—injak adalah tempat ini. Bukit Gray merupakan tempat kami pertama kali bertransportasi waktu. Di tahun 2055, sudah umum di zamanku adanya alat penjelajah waktu dengan memanfaatkan lubang dimensi. Aku dan kakakku yang merupakan seorang ilmuwan, sedang mencoba alat transportasi waktu terbaru kami sebelum dipublikasikan didepan publik.

Kami membuat sebuah lubang dimensi kecil dengan mengukur massa atom relatifnya dan memperkirakan jarak dimensi dengan percobaan karbon nano. Kami berhasil membuat sebuah alat transportasi zaman yang berukuran mini dan praktis. Selain itu, alat ini juga bisa menentukan kapan dan di mana kita akan bertransportasi. Kami bangga dengan penemuan kami.

Kemudian kami mencobanya, namun berujung pada kegagalan. Di tengah proses, tiba-tiba alatnya menimbulkan percikan api dan kami tersedot ke sebuah black hole. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Ketika pertama kali kubuka mataku, tiba-tiba saja sudah ada banyak anak panah dan senapan yang mengarah ke arah kami. Dari saat itulah, mata kakakku tak pernah terbuka kembali dan diikuti dengan beberapa keanehan yang terjadi padanya.

Menurut penuturan beberapa orang, sesaat sebelum kami ditemukan di Bukit Gray, dari arah bukit itu terdapat sebuah kilat yang menyambar dan bergemuruh sangat keras sehingga para pemangku adat segera datang menghampiri kami yang mereka kira—barang kali yang datang—merupakan makhluk Nero.
Yah itu masa lalu. Yang kupikirkan sekarang adalah cara agar kakakku bisa kembali membuka matanya. Aku selalu berharap—setiap kali datang ke bukit ini—terdapat lubang dimensi yang tertinggal. Pasalnya pernah ada seseorang yang berhasil menangkap siluet sebuah lubang dimensi yang terdapat di kaki bukit. Jadi kukira akan ada lubang dimensi untuk kedua kalinya. Namun, berpuluh-puluh ribu kali aku ke sini, tetap aku tak melihat adanya tanda-tanda lubang dimensi.

 

Aku pun masih berputar-putar di sekitar bukit. Bukit ini masih sama seperti dulu. Sepi, tak terawat, banyak tumbuhan liar dan langka yang tumbuh sembarang di hutan ini. Benar-benar masih asli dan tak terjamah oleh tangan manusia. Hal ini begitu langka terlebih di zamanku. Tapi, dari bukit keramat inilah, aku bisa mempertahankan kehidupan kakakku.

Kakiku lantas menyusuri tiap seluk beluk bukit dan mencari pohon Arc. Getahnya itulah yang akan kujadikan obat. Setelah mendapatkan apa yang kuinginkan, aku segera kembali ke rumah.
Kebetulan di jalan, Kakek Pheisto sudah pulang, jadi aku bisa langsung meracik obat.

 

Tunggulah, Kakak. Aku akan mengobatimu.

.
.
.

Racikan obat sudah selesai kubuat, kini aku tengah menghabiskan waktu untuk berkutat di ruang bawah tanah. Sebenarnya aku sedikit tak enak saat membentak Kai, sebab rumah ini beserta perabotan, semuanya benar-benar murni berasal dari Kai. Dia yang menolongku, memberiku makan, membantuku beradaptasi, sekaligus sebagai teman pertamaku.

Di ruang bawah tanah biasanya aku menghabiskan waktu soreku. Ditemani secangkir kopi panas, pensil dan kertas aku mulai merancang mekanisme alat transportasi dimensi yang dalam bahasa daerah sini bernama Zaszwe.

Ketika aku merasa sedikit jenuh, aku kembali meneguk kopi panas—terakhir—ku. Kulihat jam pasir yang berada di ujung meja hanya tinggal menyisakan sedikit pasir saja, yang berarti hari sudah larut. Kulihat ke sudut atap kecil yang bergentingkan kaca, terdapat kunang-kunang perak yang sudah beterbangan di udara. Kabut tebal sudah menyelimuti Cerevonia yang berarti aku harus segera memberi obat kepada kakak.

 

***

 

“Selamat malam, Kakak. Bagaimana kabarmu?”

Ingin rasanya setiap kali kubuka pintu kamarnya, sosok itu terbangun lalu memelukku erat. Aku ingin dia tersadar. Berkali-kali aku selalu bermimpi masa kecil kami, dimana dia yang selalu menjagaku. Namun, sosok kuat itu kini terbaring ringkih di atas tempat tidur.

Aku melangkah masuk sambil membawa sebuah batok kelapa yang berisi racikan obat buatanku. Obatnya berbentuk cair—sedikit lengket, berbau herbal tajam, dan berwarna hijau muda kental.

“Kakak, apa kau mendengarku? Aku akan mengoleskan obat ini ke tubuhmu,” ucapku. Walau sebenarnya tak perlu aku berbicara.

Seoles demi seoles aku meratakan krim obat ini ke seluruh tubuhnya. Entah apa yang terjadi pada kakak, setiap malam kulitnya harus kuolesi campuran getah pohon Arc dan bubuk kina. Sejak datang ke Cerevonia, tubuhnya perlahan berubah. Kulitnya seperti ada selabung tipis yang kuduga sebagai pemberi napas—mungkin semacam selaput tipis pada insang ikan—untuk kakakku. Kulitnya seperti bercahaya dan ia tampak lebih muda dariku.

 

“Nah, sudah selesai! Bagaimana sekarang? Apa kau merasa baikan?”

“…..”

“Bisakah kau menjawabku, Kakak?”

Tuhan, suaraku terdengar seperti sangat putus asa. Tidak ada yang bisa kuperbuat banyak. Segala upaya sudah aku lakukan, bahkan termasuk memanggil Switch—semacam penyihir—untuk menghilangkan kutukan yang menimpa kakakku.

Segala usaha sudah kulakukan, namun tak pernah membuahkan hasil. Tapi, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk melindunginya. Aku tak mempermasalahkannya. Selama ada kakak, maka aku aman dan baik-baik saja. Sekalipun matanya terpejam, aku percaya bahwa dia melindungiku dari suatu dunia alternate di luar sana.

Aku lantas menarik sebuah kursi dan duduk di sampingnya. Tabib pernah menyarankan agar aku selalu mengajaknya berkomunikasi, sekalipun itu mustahil, untuk bertujuan agar tidak mematikan panca indera miliknya. Oleh karena itu aku mulai bercerita hal-hal apa saja yang terjadi sepanjang hari ini.

“Kakak, apa kau tahu tadi Kai hampir menembakku—LAGI! Parah, bukan? Sudah kelima kali ini dia salah mengiraku sebagai buruannya. Aku hampir saja mati tadi. Kau seharusnya memarahi Kai seperti yang kaulakukan terhadap anak-anak nakal yang selalu mengangguku waktu aku kecil.”

“Ah, tapi mungkin kau terlalu lelah untuk memarahinya, ‘kan? Kai adalah laki-laki keras kepala, tapi dia baik. Dia selalu mengirimiku makanan buatannya sendiri dan rasanya benar-benar enak! Aku merasa kesal karena aku tak bisa memasak sebaik dirinya.”

“Oh ya, Kakak ‘kan pintar memasak. Suatu saat, bagaimana kalau Kakak mengajariku memasak? Uhm, dari yang mudah dulu dan makanan kesukaan Kakak, bagaimana kalau kari? Kau pasti langsung bersedia untuk mengajariku, ‘kan? Haha… kau benar-benar maniak kari.”

“Kakak… Kai mengajakku kencan besok. Bagaimana menurutmu? Apa aku harus datang? Aku harus memakai apa? Aku tidak tahu baju apa yang harus kupakai. Bagaimana kalau aku terlihat jelek? Jujur saja, aku tidak pernah berkencan seumur hidupku.”

Kutatap wajahnya yang selalu diam dan tenang. Kugenggam erat telapak tangannya yang hangat.

“Bisakah kau meresponsku, Kak? Jika kau tidak mau bicara, ubahlah ekspresimu itu. Aku selalu takut jika melihat wajah tenang dan damaimu itu.”

Aku ini memang orang lemah. Menahan air mata agar tak keluar di depan kakak selalu tak bisa kubendung. Setitik, duatitik, tigatitik, aku lantas menangis sesenggukan. Kucium telapak tangannya yang beraroma harum.

“Maaf, aku masih saja gadis cengeng walau umurku sudah 15 tahun. Tapi, kautahu Kak, aku senang karena tubuhmu hangat dan kau masih bernapas. Kau pasti mendengarku, ‘kan? Jangan mengkhawatirkan keadaanku. Aku baik-baik saja di sini. Banyak sekali tetangga Cerevonia yang peduli kepadaku. Jangan cemaskan aku, mengerti?”

“Hari sudah malam. Baiklah, selamat tidur, Kakak sayang,” ucapku, lalu kucium keningnya.
Di ambang pintu, aku memandangi sejenak sosoknya.

“Kalau kau mendengarku, bisakah Kakak kabulkan satu permintaan terakhirku saja kali ini? Tolonglah bangun. Kau harus melihat alat perpindahan dimensi ciptaan kita dengan mata kepalamu sendiri, Kakak. Jadi, kumohon, cepatlah buka matamu.”

Setelah mengeluarkan setitik air mata, kututup pintunya walau ada sedikit perasaan yang mengganjal.

.
.
.

Pagi hari sudah bersuhu tinggi. Kepulan asap putih terlihat mengepul acap kali aku bernapas. Suasana Cerevonia sudah ramai oleh aktivitas warganya. Bahkan, mataku sudah melihat beberapa pemuda melakukan pekerjaan berat seperti menempa besi, memikul beras-beras yang berat, membenahi atap rumah, dan lainnya. Oh ada juga Zigwe—prajurit patroli Istana yang berpakaian putih—yang sudah sibuk menebari penjuru kota dengan mantra keberuntungan. Sepertinya mereka semua tak masalah dengan suhu dingin ini.

 

“Krystal, Krystal Jung, Selamat pagi!”

Aku berjengit kaget. Tunggu dulu, siapa yang memanggilku?

Kuedarkan pandangan dan kudapati James Hawk tengah mengerlingkan matanya ke arah. Aku menatapnya jijik. Dia terlihat seperti orang sakit mata bagiku. Risih melihat sikapnya seperti itu, aku segera meninggalkan pekarangan rumahku.

Dari sudut mataku, aku masih memerhatikannya. Dia masih saja menatapku intens—dan memuakkan. Lantas karena terlalu memandangiku, kuali besar yang berisi air panas jatuh menimpa kakinya. Dia berteriak kesakitan.

 

Haha, rasakan.

Tak peduli bagaimana keadaannya, aku langsung bersiap menuju hutan. Tentu saja untuk mengumpulkan ranting kayu.

“Krystal!”

Ada seseorang lagi yang memanggilku. Dan rupanya orang itu adalah Kai.

Dalam hati aku sangat beryukur karena orang itu bukanlah James Hawk yang menjijikkan.

“Ah, Kai. Selamat pagi!” sapaku.

Dia membungkuk sedikit dan tersenyum. “Selamat pagi juga, Krystal,” balasnya.

Aku melihat rompi cokelatnya. Orang ini benar-benar maniak warna cokelat.

“Sudah mau berburu?” Pertanyaan bodoh menurutku. Karena jelas tampak dari rompi, senapan, topi berburu, teropong, dan alat panggul untuk hewan buruannya. Wajahnya pun tampak mengesalkan, seolah-olah berbicara, ‘Tentu saja. Kau tak perlu bertanya.’

“Menurutmu? Tidak mungkin ‘kan aku membawa senapan jika ingin berjalan mengelilingi kota,” ujarnya dan aku hanya mendengus sebal.

“Kau juga sudah bersama pisau besarmu.”

Aku mengedikkan bahu. “Kudengar hari ini Istana sedang mengadakan pemilihan Shiral—seorang pengawal untuk penyihir tertinggi Istana. Kau tak ikut?”

Raut wajahnya seketika berubah. Dia pasti terganggu dengan percakapan ini. “Kau tahu, Krystal. Sudah sejak lama aku mengincar posisi Shiral. Aku rajin berburu bukan karena aku ingin menembak mati hewan-hewan malang itu, tapi untuk melatih kemampuan menembakku. Aku tidak bisa lulus ujian Shiral di jalur biasa karena merapalkan mantra rendah seperti mantra untuk membuat benda bergerak sendiri saja aku tidak bisa. Bagaimana aku harus melindungi Switch—penyihir tertinggi Istana. Aku benar-benar menyedihkan.”

Aku bisa memakluminya. Aku memang tahu dia sangat berambisi untuk menjadi Shiral, karena di dunia ini, Shiral sudah tampak seperti patriot kebanggan. Sudah menjadi tradisi Istana untuk mengangkat Shiral di tiap distrik. Dan seorang Shiral harus bisa—setidaknya—menguasai 3 mantra umum. Aku sangat mengerti rasanya jika kerja keras kita tak terbayarkan.

“Kau tak perlu sedih begitu, Kai. Menjadi pahlawan distrik tidak harus menjadi Shiral, bukan? Kau setiap hari sudah menjadi pahlawanku,” ujarku.

Mendadak suasana menjadi hening dan sedikit canggung setelah kukatakan kalimat tadi. Uh, aku tidak tahu kalau aku bisa mengatakan hal romantis seperti tadi.

“Eh, benarkah?”

Aku mengangguk yakin. “Setiap hari kau selalu membantuku dan Kakakku. Jadi, kenapa kau harus bersikeras menjadi Shiral jika kau bisa menjadi pahlwan untuk orang lain setiap harinya?”

Sejenak aku merasa seperti orang bodoh dan gadis flamboyan. Tuhan, benar-benar terkutuklah diri ini. Kulihat wajah Kai yang diam saja, sejurus kemudian dia lalu mengerluarkan senyum lebar yang menampakkan deretan gigi putihnya.

“Haha, kau benar! Seperti yang kuharapkan darimu, Krystal. Kau pandai menghibur perasaan orang lain. Ngomong-ngomong, kau sudah menyelesaikan penelitianmu?” tanyanya.

“Belum.” Lalu, aku menghembuskan napas pasrah. “sebenarnya, Zaszwe sudah selesai aku buat. Tapi, alat itu sama sekali tidak mau bekerja. Aku sudah membongkar-pasang gir-girnya tapi percuma saja. Sama sekali tidak mau berkerja. Aku tidak tahu bagian mana yang salah. Ah, aku benar-benar bodoh!” rutukku.

“Baru kali ini aku melihatmu sangat putus asa, Krystal. Biasanya kau selalu bisa memunculkan solusi,” ungkapnya.

Mungkin dia pikir aku benar-benar sangat jenius sehingga tidak ada masalah yang tidak bisa kuselesaikan. Aku mendengus kesal. Kalau aku bisa, seharusnya aku sudah bisa membuat Kakak terbangun sejak dulu.

“Oh ya, Kai, menurutmu apakah ada cara untuk bisa membangunkan Kakakku?” tanyaku. Sepertinya aku benar-benar terlihat putus asa karena sudah bertanya ke pecundang satu ini.

Dia pun hanya menatapku bodoh. “Uhm, mungkin coba kau siram pakai air. Siapa tau dia akan bangun, ‘kan? Ibuku selalu menyiramiku air jika aku susah bangun.”

Jawaban yang sama sekali tidak kuharapkan. “Bisakah kau memberiku cara yang lebih pantas, Kai?!”

Dia terlihat berpikir sejenak. “Bagaimana kalau kau menyandingkan seorang wanita penghibur? Siapa tahu dia langsung bangun, begitu?”

Aku langsung memukul kepalanya. “Kakakku bukan orang sepertimu yang berpikiran kotor, Dasar mesum!”

Pagi itu kumulai dengan pertengkaran kecil bersama Kai hingga tanpa sadar rupanya kami sudah sama-sama selesai melakukan pekerjaan masing-masing.

“Lalu, apa kau sudah bersiap-siap?”

Aku tersentak. Kepalaku otomatis menoleh memandang Kai dan menatap tanya pada pemuda itu. Kai terlihat sedikit kesal pada ketidakpahamanku. “Kencan denganku. Kau sudah siap belum?”

Aku terjengit kaget. Lagi-lagi pemuda itu selalu bisa membuat pipiku merona merah. Aku seperti permen gulali yang siap meleleh kapan pun jika berdekatan dengannya. “Menurutmu? Kau sudah memilihkan tempat yang bagus untuk kencan kita berdua, ‘kan?” tanyaku dan diselingi dengan tawa gugup.

Kai mengedipkan sebelah matanya padaku—dan aku bersumpah bahwa seluruh persendian di tubuhku langsung hancur begitu saja. “Tentu saja. Aku bukan pasangan kencan yang buruk, Nona.”

Dan aku hanya tertawa menanggapinya.

 

.
.
.

Malam ini aku sudah berdandan semenarik mungkin untuk kencan bersama Kai. Aku bahkan sampai menghabiskan tabungan untuk lima hari ke depan hanya demi membeli sebuah baju yang kelihatan lebih pantas. Aku tidak mau mempermalukan Kai, yang notabene seorang bangsawan, dengan mengenakan baju lusuh. Aku juga tidak mau dikira pelayannya.

Tetap saja meskipun aku sudah memoleskan wajahku dengan kosmetik terbaik—yang kupinjam dari tetangga sebelah, kebetulan pekerjaannya seorang wanita penghibur jadi dia selalu memiliki peralatan rias yang lengkap dan terbaik—tetap saja hal itu tak dapat mengurangi kegugupanku. Berulang kali aku menggigit bibirku. Jantungku berdegub tak keruan.

Kemudian sebuah ketukan pintu menarik perhatianku.

“Selamat malam, Nona.”

Aku berdiri kaku. Sial, dia tampan sekali. Coat putih tulang yang memiliki motif payet di sepanjang garis dadanya semakin membuat dada bidang Kai menonjol. Warna lightseagreen khas yang berada di sekitar leher dan pergelangan tangannya, menampilkan kharisma Kai yang tak terbantahkan. Kesan bangsawannya semakin tak tertampik ketika sosok Kai berdiri tegak dengan mimik wajah yang kharismatik. Aku hampir saja seperti patung hidup jika Kai tak menepuk pipiku kuat-kuat.

“Ada apa denganmu, Krystal?” Aku segera tersadar dan menunduk malu karena takut ia tahu jika aku begitu mendambanya.

“Ti-tidak apa-apa, Kai. Aku kaget karena kau yang tak seperti pemuda berusia 15 tahun,” jawabku.

Kai tersenyum kecil. “Kedewasaan itu perlu, Nona.” Aku memekik karena ia segera menarik lenganku. “Ayo kita berangkat sekarang. Keburu sudah malam dan kita melewatkan hiburan yang menarik.”

Aku seharusnya paham bahwa definisi hiburan yang menarik bagi Kai tidak sama seperti definisi orang seumumnya.

 

***

Kai mengajakku mengunjungi rumah salah satu keluarganya, tepatnya rumah paman George. Rumah itu menjulang megah dengan segala ukiran dan patung yang memberi kesan mewah di setiap sisi rumah itu. Aku terkesan pada air mancur rumah itu yang berhiaskan patung putri duyung dengan kesan api di bawahnya. Air mancur itu memunculkan pelangi yang indah di bawah sinar aurora Cerevonia.

Ketika kami semakin mendekati pintu masuk istana itu, aku terperangah. Mataku melirik-lirik Kai yang tampak tenang dalam diamnya. “Kai, sebenarnya kencan apa yang akan kita lakukan malam ini?”

Tolong, aku punya firasat buruk malam ini.

Kai tidak menjawab. Ia hanya mengerlingkan matanya padaku.

Pemuda itu mengetuk pintu rumah. Terlihatlah dua orang pelayan laki-laki yang langsung menyambut kami. Aku benar-benar tak dapat menyembunyikan ekspresi terkejutku ketika melihat betapa megahnya ruang depan itu.

Ruangan itu sangat luas dan memiliki banyak pintu yang merupakan akses ke segala penjuru. Aku dapat melihat tangga yang berdiri kokoh di depanku. Tangga itu berkarpet merah di sepanjang anaknya, begitu pun dengan lantai di ruangan itu. Sebuah lampu besar menggantung di atap ruangan—aku berharap tidak akan ada gempa bumi tiba-tiba sehingga lampu besar itu tak perlu jatuh. Tapi yang paling membuatku jatuh cinta adalah taman bunga yang terletak di setiap pinggiran ruangan. Benar-benar sempurna. Suatu saat aku ingin memiliki rumah yang seperti ruangan ini.

“Hei, ayo!” ujar Kai. Aku tersentak dan langsung berjalan menyusulnya.

Kami masih terus saja berjalan di lorong-lorong sunyi. Aku merasa risih. Meskipun kami tak berdua saja di tempat ini, tapi aku merasa asing di bangunan yang sangat luas ini. Ketika aku ingin bertanya ke mana tujuan kita sebenarnya, Kai langsung tersenyum dan menyapa seseorang.

“Drake, lama tak jumpa, Kawan!” ucap Kai. Pemuda itu langsung memeluk antusias seorang laki-laki yang sepantaran dengannya. Kuduga orang yang bernama Drake itu adalah anak dari Paman George.

Drake melihat ke arahku dan aku buru-buru menundukkan kepalaku. Aku gugup. Bertegur sapa dengan seorang bangsawan bukanlah keahlianku.

“Drake perkenalkan, dia adalah Krystal Jung, teman kencanku.” Ketika Kai mengatakan itu, pipiku langsung bersemu merah. Aku suka dengan sebutan ‘teman kencanku’. Aku hanya berharap bahwa akulah satu-satunya teman kencannya.

Drake tersenyum padaku. Dia tampak menilai penampilanku sejenak dan aku mulai berpikir semoga parfum yang kupinjam tadi aromanya masih bertahan dan tidak kalah dengan aroma wangi di lorong ini. “Drake Alford Vermandoiz, Lady,” ucapnya sesaat dan ia membungkuk ke arahku. Aku serta merta membalas sapaannya dengan sopan.

“Baiklah, Franz. Mereka semua sudah menunggu,” ujar Drake entah kepada siapa.

Kami berdua lalu dipandu oleh Drake menuju sebuah ruangan. Sepanjang perjalanan, aku tak berhenti untuk gugup. Aku selalu bertanya-tanya mengapa aku yang rendahan seperti ini bisa berada di istana indah ini.
“Arnolf Franz Kai.”

Aku tersentak sebentar dan memandang Kai penuh tanya.

“Sebagai informasi untukmu barangkali kau tidak tahu siapa Franz itu,” ujarnya ringan dan sesaat ia langsung kembali menghadap depan—berbincang-bincang bersama Drake.

Franz. Aku mencoba menanamkan nama itu dalam hati.

 

***

Setelah menyusuri beberapa lorong dan keluar-masuk ruang ke ruang, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Tempat ini bahkan jauh lebih indah daripada ruangan depan tadi. Aku bahkan sampai tak dapat berkata apa-apa untuk melukiskannya.

“Krystal.” Aku tersadar ketika tangan Kai menepuk bahuku. Kemudian perhatianku terarah pada sekumpulan anak yang berdiri menggerombol di tengah ruangan. Aku semakin gugup. Aku benar-benar tak mengerti alasan mengapa aku bisa berdiri di tempat ini.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Kai padaku. Kulihat Drake sudah bergabung bersama teman-temannya. Aku melihat ke arah Kai dan pemuda itu balik menatapku cemas.

Aku tersenyum kecil. “Kalau bisa aku ingin segera angkat kaki di tempat ini. Di sini bukan tempatku, Kai,” ujarku. Kai berniat mengatakan sesuatu tapi Drake—dengan suara lantangnya—mengajak kami untuk bersama-sama masuk ke bagian dalam ruangan.

Aku tak sempat mengagumi dekorasi dan ukiran-ukiran dinding di ruangan itu jika hal berikutnya yang akan aku lakukan adalah berdansa. Mataku seperti melompat keluar ketika Kai berkata ringan bahwa kami berada di urutan ketiga saat berdansa nanti. Dan yang paling membuatku stres adalah tiap pasangan akan berdansa bergantian.

Aku cemas bukan main ketika melihat pergerakan pasangan yang mendapat giliran pertama. Baik perempuan dan laki-lakinya bergerak dalam irama nada yang serasi seolah berdansa adalah kegiatan mereka sehari-hari. Sedangkan aku? Aku bahkan tak pernah mengikuti pesta prompt sekolahku dan selalu sibuk mengurung diri bersama ilmu pengetahuan. Beruntung aku tak memakai kacamata.

“Krystal, sebentar lagi giliran kita.”

Perkataan Kai seolah menjadi mimpi burukku. Akan terlihat konyol kalau aku menari robot saat pesta dansa bangsawan ini. Kalau aku mengacaukannya, apa tanggapan Kai padaku? Dia pasti akan memusuhiku seumur hidup. Ketika musik tampak akan selesai, keringat dingin semakin keluar banyak dari pori-pori kulitku. Kakakku selalu mengajarkan agar aku tak menjadi pengecut dan selalu siap menghadapi situasi apapun, tapi untuk yang satu ini betul-betul pengecualian.

“Kai, uhm, aku butuh ke toilet,” ujarku pelan. Kai diam sebentar. Kupikir ia tak dengar, lalu aku mencoba mengulanginya lagi tapi ia langsung berbicara. “Ada apa memangnya? Tak bisa ditahan? Aku berjanji kita hanya berdansa sebentar,” ujarnya dan aku meringis.

Kai menghela napasnya. Maaf Kai. Aku tahu dia kecewa berat tapi mau bagaimana lagi. Aku lebih suka menjadi pengecut daripada mempermalukan diriku di depan umum.

Akhirnya aku meninggalkan Kai seorang diri. Sebenarnya aku cukup kecewa dan kalau mau jujur, aku mengharapkan agar bisa berdansa dengan Kai lagi. Aku sudah berjanji pada diriku kalau setelah ini aku pasti akan mempelajari cara berdansa.

Seorang pelayan wanita mengantarku menuju toilet. Ketika dia tampak lengah, aku mengendap-endap untuk keluar dari tempat itu. Aku memanjat keluar melalui sebuah celah dinding. Aku tak memperhitungkan risiko perbuatanku ini karena setelah melompat keluar, aku baru tersadar bahwa aku ternyata berada di lantai tiga.

Ketika aku dalam posisi melayang di udara, ada sebuah tangan yang memegang pergelangan kaki kananku. Langsung saja rokku tersibak. Untungnya aku memakai celana rangkap.

Aku belum mati.

 

***

 

“Kai, kau menyelamatkan nyawaku!” Tanpa pikir panjang lagi aku langsung memeluk pemuda itu.
Aku merasakan Kai yang tersentak, maka aku langsung melepas pelukanku dan malu-malu. Uh, tadi itu sikap seorang wanita murahan, aku berkata dalam hati. Kupuja sosok Kai yang semakin gagah di mataku itu.

“Kenapa kau bisa lompat seperti tadi? Kupikir kau belum sefrustrasi itu untuk mengakhiri hidupmu sendiri,” ujarnya.

Aku mendengus sambil merapikan gaunku sendiri. Kupastikan agar aku tak merona merah saat membetulkan rokku, mengingat bahwa Kai sepertinya melihat pahaku yang terlihat jelas tadi.

“Kecelakaan sedikit,” ujarku sambil membelakangi Kai. Aku tak mau pemuda itu mengetahui bahwa aku keberatan berdansa karena aku tak bisa melakukannya. Martabatku akan benar-benar hancur kalau dia tahu.
Kai sepertinya paham dengan maksud tersirat yang kuucapkan. “Oh, kupikir kau ingin bunuh diri tadi.”
Aku hanya diam. “Kai, ini sudah terlalu malam. Aku tidak bisa meninggalkan kakakku lebih lama dari ini.”
Kai mengangguk. Ia lantas menemaniku menuju rumah.

Aku betul-betul merasa bersalah pada Kai. Seharusnya ini akan menjadi kencan yang menakjubkan. Apalagi Kai sudah berpakaian sangat indah malam ini, sedangkan aku mengacaukan segalanya. Aku tanpa sadar menggigit bibirku lagi. Aku bahkan tak tahu harus bersikap bagaimana untuk menghadapinya besok.

“Kai, aku minta maaf,” ujarku lirih. Aku memilih untuk memandangi ilalang yang mendadak tampak lebih menarik daripada pancaran wajah tampan Kai di bawah sinar rembulan.

“Hm, kencan kali ini gagal, tapi lain hari pasti kita akan berkencan. Aku belum meninggalkan kesan yang menakjubkan untukmu,” ujarnya. Aku terperangah kaget. Tanpa sadar aku menoleh cepat-cepat kepadanya.
“Lain hari? Jadi, maksudmu kita akan berkencan lagi? Besok?”

Kai tertawa ringan. Aku langsung menyadari bahwa sikapku tadi sangatlah bodoh. “Ya, kau tidak keberatan, ‘kan?” Oh, sejak kapan Kai menjelma menjadi sosok pangeran berkuda putihku? Tangan pemuda itu merapikan helaian rambutku yang sedikit berantakan.

“Sampai jumpa, Kryssie,” ucapnya. Ia menungguku sampai masuk ke dalam. Kembang api segera meletus-letus di dalam hatiku.

 

***

Aku memasuki rumah sambil menyengir lebar. Aku terus-terusan tersenyum dan menyadari bahwa sikapku sangatlah abnormal. Pipiku bersemu merah dan aku merasa musim semi sedang menggandrungi hatiku. Jadi begini rasanya jatuh cinta seorang remaja 15 tahun.

Aku memasuki kamar kakakku dan berniat ingin menceritakan hal-hal yang terjadi malam ini—walau tak semuanya menyenangkan, tetap saja selama ada Kai, apapun menjadi menyenangkan. Saking senangnya diriku, aku bahkan tak repot-repot untuk mengganti pakaian. Aku merasa tak mau menanggalkan pakaianku ini sampai tidur karena terdapat bekas parfum Kai di pakaian ini. Aku mungkin bahkan tak mau mencucinya agar selalu bisa mencium aroma parfum Kai.

“Selamat malam, Kakak!” seruku riang.

Aku menghampiri lemari obat-obatan dan segera mengolesi obatnya pada tubuh kakakku. Aku masih bersiul-siul rendah saat itu dan didetik berikutnya aku segera menelan bulat-bulat suara riangku. Aku langsung menghampiri ranjang tidur kakakku dengan perasaan yang gundah gulana.

Melihat kondisi kakakku yang memburuk aku langsung berteriak kencang. “TOLONG!!”

 

***

 

Aku terus-terusan menangis saat itu. Tak pernah kondisi kakakku seburuk ini. Dari hidungnya terus-menerus keluar darah segar. Mimisan kakak tak bisa dihentikan walaupun sudah diobati. Kuyakini bahwa kakak sama sekali tak mengidap penyakit hemofilia, jadi seharusnya pendarahan kakak segera bisa dihentikan. Selain itu, tubuh kakak tak berhenti mengejang. Tekanan denyut nadinya terus melemah dan aku benar-benar khawatir.

“Krystal, tabahlah. Kakakmu pasti dapat tertolong.”

Aku memalingkan wajah pada Kai. Dialah yang pertama kali menolongku. Dengan tubuh anak 15 tahun, ia menggendong kakakku keluar rumah. Tentu saja aku segera mengetuk-ngetuk pintu rumah tetanggaku untuk menolong membawa kakakku ke rumah sakit.

Beberapa orang mencoba menghiburku sejak tadi, tapi aku tak bisa berhenti khawatir. Ruangan perawatan itu masih tertutup dan dokter tak keluar sejak tadi. Tangisku sudah reda sekarang ketika Kai mengulurkan sapu tangannya kepadaku. Aku betul-betul merasa bersalah kepadanya karena aku selalu merepotkannya. Kai bahkan tak sempat mengganti pakaiannya—sama sepertiku.

“Bukankah itu bagus kalau kakakmu baik-baik saja?” tanya Kai.

Aku sejenak memandanginya. Kemudian punggungku bersandar pada sandaran kursi untuk melemaskan seluruh otot-otot tubuhku yang tegang. “Akan lebih bagus kalau kakakku bisa membuka matanya.”

Kami berdua lalu saling bercanda satu sama lain. Kai mungkin sengaja memancingku agar aku tak terlalu bersedih. Aku terharu pada rasa empati pemuda ini. Tingkat kecintaanku padanya semakin tinggi dan akan semakin gawat jika aku terperosok pada pesonanya lebih dari ini.

Tapi semua rasa cintaku padanya langsung runtuh dalam sekejap ketika dia menertawaiku karena aku menghindari pesta dansa malam itu karena tak bisa. Dengan candaan yang masih melekat pada dirinya, dia berinisiatif sebagai instruktur dansaku. Kami kemudian berdansa berdua di kamar rawat kakakku.

“Ya sudah, titip kakakku sebentar. Aku ingin membayar biaya perawatannya,” kataku kemudian.

 

.
.
.

Sudah seminggu semenjak kepulangan kakakku. Tak ada keanehan lagi pada kakakku akhir-akhir ini. Aku senang karena keadaan kakakku membaik walau masih sampai saat ini, belum muncul tanda-tanda kakakku yang akan membuka matanya.

Biaya perawatan kakakku, betul-betul sangat mahal. Aku sampai harus menguras tabungan hasil penjualan kayu bakar selama tiga minggu. Kali ini aku sedang mengitari toko-toko Cerevonia untuk mencari pekerjaan. Aku sedang mencoba peruntungan melamar pekerjaan menjadi asisten tabib di sebuah toko obat kecil Cerevonia. Aku tidak peduli seberapa besar gajiku nantinya, yang penting aku bisa mendapatkan uang yang lebih dibandingkan dari hasil kerjaku menjual ranting kayu.

 

“Permisi.”

Toko klonteng ini benar-benar sempit. Di tiap rak tokonya berjejer obat-obatan yang sama sekali tidak kuketahui apa nama dan fungsinya. Bau lavender langsung pertama kali menyapaku. Ada sebuah botol yang berisi ari-ari bayi di rak ujung pertama yang menyita perhatianku. Lalu, kulihat lagi, rupanya ada pula otak kecil di salah satu botol bening. Tiba-tiba aku merasa perutku mual.

“Ada yang bisa saya bantu?”

Seorang nenek tua yang tingginya hanya sepinggangku muncul dari balik tirai kerang. Surainya dikepang satu dan sudah berwarna putih sempurna. Keriput sudah banyak memenuhi wajahnya. Matanya yang tajam membuatku sedikit takut untuk menatapnya.

“A-ya. Apa Anda adalah tabib di sini?”

Dia menggeleng. “Siapa yang sakit? Akan kupanggilkan anakku. Dialah tabibnya.”

“Aku ingin seorang tabib untuk memeriksa kondisi Kakakku,” ujarku. Dia mengangguk dan meneriakkan sebuah nama; Reeva. Lalu, seorang perempuan muncul dan mereka terlihat membicarakan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan namun sesekali orang yang bernama Reeva itu menatapku.

“Di mana pasienku?”

Selama beberapa waktu aku diam, hingga aku sadar dan segera menjawabnya. “Di rumahku.”

 

***

 

Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku menceritakan kondisi kakakku yang masih sama seperti 5 tahun yang lalu. Setiap perkataanku, dia selalu meresponsnya dengan baik. Yang kutangkap, Reeva merupakan tabib yang baik hati dan ramah. Dia juga tak sungkan untuk membalas lelucon-leluconku meski tidak terlalu lucu dan berguna. Kami menjadi sedikit akrab karena percakapan kecil kami. Disamping itu, Reeva memintaku untuk berbicara seolah kami sepantaran.

Kubuka pintu rumah dan Reeva sedikit kaget melihat kondisi kakak. Namun, dia segera mengontrolnya sesaat setelah melihat raut wajah cemas dariku.

Dia memulai pekerjaannya.

“Bagaimana dengan kondisinya? Apa kakak masih baik-baik saja?” tanyaku.

Reeva mengangguk. “Kau tak perlu cemas. Organ tubuhnya masih berfungsi dengan baik. Tekanan darahnya pun normal. Hanya saja mungkin dia mengalami kelumpuhan syaraf. Apa kakakmu sudah pernah menjalani terapi setrum otak?”

Aku menggeleng. “Aku tidak mengizinkannya. Temanku ada yang mengusulkan, tapi bukankah terapi setrum otak itu berbahaya? Kudengar jika sesudah menjalani terapi itu, jika otak tak kunjung merespons, maka Kakakku akan benar-benar mati, ‘kan? Aku tidak mau. Lagi pula aku sudah rajin memberinya obat ini.”

Kusodorkan batok kelapa yang masih ada sisa obat yang kemarin kuracik. Reeva lalu mencium baunya dan dia menjilat obat itu. Aku menatapnya jijik dan sedikit khawatir barangkali setelah ia menelan zat pakan kuda tersebut—Kina biasanya digunakan sebagai pakan kuda di Cerevonia—Reeva langsung terkena gangguan pencernaan yang cukup serius.

“Racikan obatnya benar. Kau mendapat ilmu ini dari mana?”

Aku menjawab agak susah. “Aku hanya mengira-ngira sedikit. Syukurlah kalau takarannya pas.”

Reeva mengangguk, lalu ia menaruh batok kelapa itu di sebuah meja. “Aku tidak tahu penyakit apa yang menimpa kakakmu. Selama pengalamanku menjadi tabib, baru kali ini aku menemui penyakit seperti ini. Jujur saja, aku juga tidak bisa berbuat banyak. Maafkan aku.”

Lagi-lagi jawaban itu. Aku sudah cukup lelah dengan jawaban yang; ‘Aku sudah tidak bisa berbuat banyak’ dari tabib-tabib yang aku mintai tolong. Tapi, aku hanya memberinya sebuah senyum singkat. “Tidak apa-apa. Lagi pula aku hanya meminta tolong untuk mengecek kondisinya. Terima kasih.”
Dia terlihat cukup bersalah kepadaku. “Baiklah. Jika ada apa-apa kau bisa hubungi aku.”

Aku mengangguk kecil, kemudian memberikan beberapa keping uang padanya dan membantu Reeva untuk merapikan perlengkapan medisnya yang cukup banyak. “Oh ya, Reeva, apa kau tidak memiliki asisten yang membantumu?”

Reeva menggeleng. “Aku belum punya. Aku sedang mencari asisten yang cocok denganku. Aku juga ingin memiliki asisten yang cukup mahir dalam meracik obat.”

Lampu hijau untukku. Aku tersenyum. “Kalau begitu, bagaimana kalau aku yang menjadi asistenmu? A-maksudku aku cukup mahir di bidang kesehatan dan meracik obat-obatan alami. Ya, kalau kau tak keberatan juga.”

Reeva mengangguk. “Diterima. Aku kagum dengan racikan obat yang kaubuat tadi. Kau sepertinya berbakat. Kalau begitu mulai besok datanglah ke toko obatku jam delapan pagi.”

Dalam hati aku bersorak gembira.

 

.

.

.

 

Siang ini, Kai meminta tolong bantuanku untuk membantunya menyiapkan beberapa perlengkapan berburu. Dia bilang dia ingin pergi ke pusat untuk membeli senapan yang baru, karena yang lama moncongnya sudah berkarat jadi tak bisa lagi untuk digunakan.

“Kau akan pergi berapa lama?” tanyaku.

“Hanya 5 jam saja. Kalau tak menemukan yang pas, paling lama 1 hari dan aku baru kembali besok,” jawabnya.

“Kau akan naik apa ke kota? Dengan kuda?” tanyaku lagi.

“Ya, memangnya dengan apa lagi aku ke kota? Jalan kaki jelas tidak mungkin,” ujarnya sambil mencatat keperluan yang ia butuhkan.

“Sejujurnya aku mencemaskanmu. Kau itukan sangat ceroboh. Bagaimana kalau kau kena tipu? Di Cerevonia saja kau sering kehilangan dompetmu. Kudengar tingkat kriminalitas di pusat sangat tinggi. Sebaiknya kau berhati-hati. Jangan terlalu banyak membawa uang perak dan emas. Kurasa 3 keping emas cukup untuk membeli 20 sarung peluru.” Entah kenapa aku terdengar seperti ibunya.

Kai tertawa kecil. “Ya, ya. Aku tahu. Lalu, selamat ya kau sudah menjadi asisten tabib Reeva. Dia itu merupakan tabib yang berbakat di Chelokov. Kau akan segera kaya. Haha….”

Aku mencibir. “Memangnya selama ini aku hidup miskin? Maaf saja.” Dia tertawa pelan. Aku lalu mengangkat tasnya yang sudah selesai kurapikan. “Tasnya mau taruh di mana, Kai?”

Dia lalu menunjuk sebuah meja kayu panjang. Sepertinya dia sedang sibuk memberi makan kudanya.

Seperti perintahnya, aku menaruh tas berat ini ke atas meja. Namun, tak sengaja aku menjatuhkan sebuah gir tua usang. “Ah….” rutukku sedikit kesal. Aku membungkuk dan mencoba untuk mengambilnya.

 

Di siang hari ini, ketika udara masih dingin, kabut tipis masih menyelimuti distrik. Langit menampilkan cerminan bening luar angkasa. Bola-bola putih mirip salju beterbangan di udara, membuat pemandangan langit bertambah indah. Siang itu terlihat langit tampak damai. Namun, tiba-tiba saja, dari atas langit yang tenang, gemuruh petir terdengar keras dan begitu nyaring, menyambar di area Bukit Gray.

Aku kaget, begitu juga dengan Kai dan kudanya. Si Kuda bahkan langsung berlari kencang meninggalkan tuannya yang hanya bisa termangu.

 

Zaszwe Zogilia! Zaszwe Zogilia!

 

Kekacauan mulai terjadi. Penduduk menghentikan aktivitasnya dan langsung menatap menuju Bukit Gray yang terletak di tengah distrik. Para penduduk mulai merancau dan mereka semua menggumamkan satu kalimat yang sama. “Tolong lindungi kami! Nero telah datang! Bahaya! Tolong lindungi kami.”

Aku segera berlari menuju rumah. Lubang dimensi. Inilah satu-satunya kesempatanku. Aku akan segera mendapatkan jawabannya, aku bisa. Ya, aku bisa. Aku mencoba menggendong tubuh kakakku, namun aku tak cukup kuat untuk melakukannya.

Dan, datanglah Kai.

“Biar kubantu.” Dia langsung menggendong kakak di punggungnya. Aku membantu Kai untuk membawa tubuh kakakku.

“Bagaimana dengan urusanmu?” tanyaku. Kami bergegas keluar rumah.

“Ada yang lebih penting dari urusanku. Urusanmu lebih penting, Krystal.”

Aku tersenyum. Kai benar-benar orang yang baik hati. Kami berdua langsung berlari menuju Bukit Gray.

.
.
.

Benar-benar sepi. Tubuhku yang sudah berkeringat penuh, masih kupaksa untuk menyusuri tiap inci hutan hanya untuk mencari lubang dimensi. Kami harus pulang ke zaman kami.

Harus.

“Krystal… Krystal… kemari!” seru Kai. Aku langsung datang untuk melihat apa yang terjadi.

Dan aku cukup kaget ketika menemukan lubang dimensi yang berkilatan petir. Semakin lama gemuruh petir semakin terdengar menyarang gila. Aku mencoba melangkah mendekatinya, namun tanganku segera ditarik oleh Kai. Dia mencegahku.

“Jangan ke sana, Krystal. Bahaya!” serunya.

“Tapi, Kai… di sana… di sana ada rumahku yang asli. Aku ingin pulang. Aku harus melewati lubang dimensi itu, Kai!” ucapku lirih. Aku masih ternanar melihat pandangan di depanku.

“Tidak, Krystal! Di sana berbahaya! Tidakkah kau lihat petir-petir itu?! Kau dan kakakmu bisa mati!”
Aku hanya menatap getir ke arah lubang dimensi itu. Perlahan lubangnya makin mengecil, kecil, kecil, dan menghilang sempurna. Kakiku lemas. Dan aku terduduk di atas tanah. Tangisanku sudah tak bisa kubendung lagi. Satu-satunya harapanku telah hancur. Lubang dimensi yang kuharapkan untuk muncul tak dapat membawaku dan kakakku pulang. Saat aku menangis, kurasakan tangan Kai yang menyentuh punggungku. Dia menepuk-nepuk punggungku pelan.

“Mungkin akan ada lagi. Kau pasti bisa pulang.” Kai lantas memelukku. Aku balas memeluknya dan menangis keras di pelukannya. “Bagaimana aku bisa pulang? Aku lelah, Kai. Aku sudah berusaha tapi tidak ada yang bisa membantuku. Hanya Kakakku yang bisa membantuku tapi dia malah tertidur. Tidak bisakah dia membuka matanya dan membantu untuk meringankan bebanku? Kenapa dia juga harus tertidur seperti itu? Aku hanya ingin dia bisa membuka matanya lagi, Kai. Hanya itu. Aku tidak bisa pulang, tidak masalah bagiku. Tapi, aku ingin dia sembuh. Aku ingin Kakakku sembuh!”

Aku sudah berada di luar kendali. Kai memilih diam. Suasana semakin runyam ketika terdengar ribut-ribut dari kaki bukit yang berasal dari celetukan warga. Aku mengerang putus asa. Semakin aku berusaha, semakin aku terpuruk. Tak ada yang bisa menolongku saat ini. Kupandangi wajah kakak yang selalu terlihat damai dalam tidurnya. Sejumput rambut poni kecilnya menutupi dahinya. Aku benar-benar merasa bersalah kepadanya.

 

Kenapa… kenapa aku tidak bisa menjadi adik yang baik dan manis untuknya?!

 

Ditengah keheningan itu, aku seperti bermimpi mendengar kakakku merancau sesuatu di tidurnya. Aku lantas bangkit berdiri—dan sedikit mengagetkan Kai.

“Aku tahu, Kai. Aku mengerti bagian akhirnya. Aku tahu apa yang belum aku sempurnakan.”

Ketika aku berniat untuk pergi dari tempat itu, Kai menahan lenganku. Aku memandangnya penuh tanya. Aku menunggu Kai yang seperti ingin mengutarakan sesuatu, tapi tak kunjung diucapkannya. Di saat genting seperti itu, Kai yang bersikap seperti ini betul-betul menyebalkan. Ketika aku sudah selesai menggedong kakakku di punggung dan berniat untuk pulang, Kai lagi-lagi menahan lenganku. Kali ini dia menatapku tajam.

Aku memutar kedua bola mataku malas. “Ada apa, Kai? Ayolah, waktuku tak banyak.”

Kai sudah melepaskan pegangan tangannya dan ia menghela napas berat. “Pakailah kalung ini.” Kai kemudian memasangkan sebuah kalung di leherku. Kalung itu cantik, berwarna putih dan berukir huruf “K” di permukaan liontinnya. Aku lebih tercengang ketika Kai membuka penutup pada liontin kalung dan terdapat foto kami berdua dalam balutan gaun pesta berukuran kecil. Aku menatap Kai penuh haru.

“Sekadar sebagai pengingat. Aku ingin agar kau selalu mengingatku. Sampai saat ini, kau adalah orang istimewa bagiku, Krystal. Kau selalu menemaniku selama waktu berburuku. Aku berterima kasih padamu,” ucap Kai. Kalau tanganku sedang tak menahan berat badan kakakku, aku mungkin langsung menerjang Kai untuk memeluknya.

“Krystal, aku menyukaimu. Semoga kita diberi kesempatan untuk bertemu lagi di hari esok,” ucapnya yang membuat hatiku luluh. Jika ia berkata seperti itu, aku menjadi tak yakin untuk tetap mempertahankan keinginanku untuk menyembuhkan kakak dengan tetap hidup di dunia ini bersama Kai untuk selamanya.
“Hanya itu yang harus kusampaikan. Pergilah, Krys. Pergilah untuk menyembuhkan kakakmu. Kembalilah ke duniamu yang sebenarnya.”

Aku langsung melangkahkan kakiku pergi dari tempat itu secepat yang aku bisa. Hatiku akan goyah jika tetap memandangi Kai. Bahkan hingga aku sampai di depan pintu rumahku, kakiku masih ingin berbalik dan berkata pada Kai bahwa aku bersedia untuk menghabiskan sepanjang hidupku bersamanya.

 

.
.
.

Setelah kubutuhkan waktu selama 22 hari untuk merancang ulang mesin waktu ini, akhirnya selesai juga. Selama ini aku mengira kalau ada yang salah dengan penukaran jiwa milik kakak, dengan alat ruang dimensinya.

Sudah kukatakan kalau alat yang kami buat sebelumnya merupakan barang cacat sehingga membuat kami terlempar ke bumi Cerevonia. Rupanya ada salah satu komponen yang rusak di dalam alat tersebut sehingga menyebabkan teleportasinya menjadi tidak sempurna. Tubuh kami memang utuh, tapi jiwa kakakku terpisah dari tubuhnya.

Itulah tesisku.

Lalu, titik permasalahannya rupanya berasal dari perputaran logam besi kecil yang terganjal oleh serbuk rautan pensil. Hanya karena sebuah serbuk rautan pensil, kami berdua harus luntang-lantung selama 5 tahun.

Aku lantas membaringkan tubuh kakakku. Kuusap rambutnya. Setitik air mata kembali jatuh.

“Kau harus tetap hidup, Kakak. Aku selalu menyayangimu. Bangunlah. Ada mimpi yang belum kaugapai. Kau harus mewujudkannya. Kau harus menjadi ilmuwan sukses. Terima kasih, Kakak. Terima kasih karena kau selalu memberiku kekuatan.”

Itulah kalimat perpisahan dariku.

Kupandangi dari luar mesin itu. Kuhidupkan mesinnya dan alat itu mulai bekerja.

 

Selamat tinggal, Kakak.

 

Seingatku cahaya terang begitu menyilaukan mata. Seiring gemuruh-gemuruh terdengar, perlahan tubuhku ikut memudar.

Karena, aku ingin menjadi adik yang baik yang akan selalu menjaga kakaknya….

.
.
.

Tahun 2057.
Ruang penelitian bawah tanah.

 

Seorang wanita keluar dari sebuah bilik kamar dengan pakaian yang sedikit lusuh. Ia terlihat linglung dan menguap kecil. Ia memandangi keadaan sekelilingnya yang terasa asing. Terlebih dengan pakaian yang ia kenakan sekarang; kemeja cokelat dan celana panjang hitam.

Sejak kapan aku memakai pakaian ini?Bukankah aku sedang melakukan penelitian? Lalu, di mana alat-alatnya?

 

“Jung Soojung! Jung Soojung, di mana kamu?” teriaknya.
Lalu, keluarlah seorang remaja putri yang mengenakan celemek memasak. Ia mengikat ekor kuda rambutnya tingg-tinggi. Bibirnya tampak menampilkan sebuah senyum kecil. “Ada apa, Kakak? Ini masih pagi tapi kau sudah teriak-teriak begitu. Sarapannya sebentar lagi siap.”

Wanita itu yang semula terlihat bingung, namun ia hanya tersenyum ketika melihat adiknya dalam keadaan sehat.

“Baiklah. Aku akan membantumu memasak,” ujarnya.

Soojung tersenyum kecil. Ia memandangi kakaknya dalam diam yang terlihat bersemangat membantunya memasak. Soojung hanya bisa tertawa melihat tingkah kakaknya itu. Aku senang kita berhasil kembali, dan aku lebih senang karena kau sudah sembuh, Kakak.

“Tapi, Soojung-ah, bagaimana kau bisa tiba-tiba pandai memasak seperti ini?” tanya kakaknya.
Soojung mendengus sambil menahan tawanya. “Aku belajar dari keadaan,” ucapnya. Soojung tertawa kecil ketika melihat sorot kebingungan dari kakaknya. “Ngomong-ngomong, apa kau mau mendengar ceritaku?”

Kakakku tampak bersemangat ketika mendengar kata-kataku. “Ini merupakan cerita klasik, Kak. Cerita yang mengisahkan kisah cinta seorang gadis berusia 15 tahun, yaitu Krystal Jung dengan pangeran berkuda putihnya, yaitu Arnolf Franz Kai.”

 

.
.
.

| E N D |

 

A/N:
HELLOOOWWW HAHA SELAMAT BAGI YANG SUDAH MENYELESAIKAN MEMBACA CERITA YANG SANGAT SANGAT SANGAT PANJANG INI HINGGA MENCAPAI KATA ‘END’ SELAMAT GUYS 😀 wah, ngga nyangka bisa panjangin cerita ini sampai bisa mencapai 7800 lebih kata. Hehe, semoga ceritanya ngga terlalu membosankan yaa TT___TT
FF ini merupakan hasil remake dari salah satu ff event di Ifk. Well ff ini merupakan ff fantasy-ku pertama yang kuposting disini XD hope you like it, comment must be nice for me ^^ ayayayayay, thank you 😀

bunch of love,
Mizuky.

35 thoughts on “[Oneshot] Last Witch

  1. Mizukyyyyyyy, yaampun sumpahhh serasa masuk ke dunia maleficent gitu tau gaaaa 😍😍😍 gila mah ini benere bener a w e s o m e . 😭😭😭 ffnya panjaaaaaanngggg, tapi sama sekali GAK NGEBOSENIN!
    You know what? Aku geleng-geleng pas baca bagian kai itu keturunan bangsawan. Beuhhhh imej rakjel musnah seketika :’)
    Ini sad end bangettt pas bagian akhirnyaa. Ngga angst sih emang, tp kenapa kamu tega misahin kaistal????? 💔💔 fix ini harus ada sequel! *maksagapapaya? 😋

    Cemungudd terus mizukyyyy 😘😘

    Like

    • haha kataku mah lebih mirip dunia Alice kalau disini haha habisnya pakaiannya itu lho tapi Maleficent bagus juga sih hehe /gubrak/ aduh dibilang awesome, makasih banyak yaa /tebar cinta/ padahal ya menurutku ff ini superduper panjang dan bakal melelahkan buat dibaca tapii ternyata banyak yang suka dan sabar menunggu huehehehe /ditendang/
      ah mungkin kaistal bisa bersatu di hari tuanya ;;;)

      Like

  2. Iniii kerenn kakkk 😀 sumpahh nge feel bangett terus sci-fi nya dapet gituu , awalnya pas baca pertama kok langsung gituu jd bingung tp abis itu diceritain jdnya gak bingung lagi dehh , hehe 🙂 plot nya juga aku suka tp kasian bangett kaistal nya gak bersatu padahal aku pinginnya kai bisa ikut krystal ke dunia aslinya /eh… pokonya kerenn deh kak , keep writingg 😁😁😁😁😁👌

    Like

    • waduh makasih sudah dibilang keren :3 hehe.. menurutku sci-fi nya masih biasa ajaa.. aku pernah baca ff tentang astronot dan itu lebih keren lagi.. hehe ini mah masih ecek-ecek, tapi makasih banyak yaa ❤
      plotnya memang aku bikin sambil bayangin Maleficent, SnK, Cinderella, dan MV IU yang You and I HAHAHA banyak banget kan nggabungin scene dari film2 favorit :3
      yah nanti kaistalnya juga bakal ketemu di masa depan kok :3 hehe MAKASIH YAAA ❤

      Like

  3. Waaaaaaaaaaa- fantasi!! Aku ini selalu pengen bisa nulis fantasi, tapi gak kunjung terealisasi TAT ((curhat))
    Ini ceritanya panjang banget ya… Pas aku liat tadi “7815 words more” langsung kayak O_O tapi akhirnya kuat juga baca sampe akhir 😅 yeay!
    Btw aku suka deh sama namanya Kai; Arnolf Franz Kai itu kedengeran mewah sekali 😂 well, dia bangsawan ya di cerita ini pantes aja mewah namanya.
    Di ending aku pikir Krystal bakal ketemu sama cowok yg serupa sama Kai di dunianya. Ternyata enggak ya lol daaan kaistal terpisah 💔 huhuhu
    Suka deh! Keep writing ya kak mizuky! 😁

    Like

    • AYOO AYOO BIKIN FANTASY AJAAA ;_; haha menurutku genre yang paling mengesankan itu genre fantasy :3 kita bisa berkhayal jadi apapun dan memang enak lah :3 hehe
      iyaa kok kamu tau sih sampai 7815 kata?? O.O makanya pas ngepublish itu jadi rada gimanaa barangkali yang baca bosen kan :(((

      HAHA aku juga suka sama nama bangsawannya Kai HAHAHA asal nemu itu mah gara-gara googling nama-nama bangsawan Eropa eh nemu nama Arnolf dan Franz terus aku gabungin HAHA jadinya bagus banget ;;__;; Kai harus banyak bersyukur tuh-_-

      iya kaistalnya pisah, tapi setidaknya si Kai udah nembak Krystal ❤ tapii barangkali kaistal bisa ketemu kaan :33 siapa tahu hehe.. okee makasih yaa kamu juga keep writing shaay, sukses yaa ^^

      Like

  4. Sumpah ini ff klasik paling aku suka!!!!! Baru nemu crita romance kakak-beradik. Ya meskipun romance kaistal dikit, tapi cerita kakak-beradik bikin seru. Trus aku penasaran bagaimana soojung ntar ketemu dengan jongin di masa depan? ㅋㅋㅋㅋㅋ

    Like

    • waduh makasih udah dibilang suka ❤ hehe.. nanti mungkin selanjutnya aku bikin lagi ff klasik khas-khas bangsawan :3 /tendang/ iyanih romance yang dibumbui kakak-adik, habis kaistal dan jung sister tidak bisa dipisahkan ;___; oh my Jess TT___TT fufu mungkin mereka bakal bertemu, mungkin…….. /ditendang/

      okayy, terima kasih sudah mau berkomentar yaa ^^

      Like

  5. Akhirnya baca ff fantasy lagi 🙂 suka banget sama ceritanya, keren parah.
    Tapi sayang kaistal harus pisah, berharap ada sequel nya dan kaistal bisa bersatu 😀

    Like

    • hehe makasih udah suka sama cerita yang penuh keterbatasan ini ;;__;; yah kalau kaistal adalah cinta sejati, mereka pasti bisa bersatu di masa depan ;;; oke makasih yaa sudah mau berkomentar ^^

      Like

  6. wah benar-benar panjang fanficnya kamu, bagus aku suka 🙂 tapi aku bener-bener binggung sama alur ceritanya itu bagaimana 😀 hihihi

    Like

    • ah bingung? aku jelasin secara singkat aja ya kak..
      jadi si Krystal sama Jessica itu terlempar ke dimensi lain yang bernama Chelokov dan mereka berdua tinggal di Cerevonia.. tapi gara-gara ada kesalahan sama mesin waktunya, ternyata si Jessica itu gabisa bangun selama ini dan Krystal jadi berjuang agar bisa mengembalikan mereka berdua ke Bumi. Terus selama di Cerevonia, si Krystal bertemu Kai. Pas menjelang akhir, itu ada lubang dimensi. Sebenarnya mesin waktu yang diciptakan oleh Jung Sister masih berfungsi selama ini, makanya penampakan lubang dimensi masih sering terlihat, dan karena itu si Jessica ga bangun-bangun. Terus, pas ada lubang dimensinya, si Kai langsung nyegat Krystal biar jangan pulang, sebenarnya itu adalah kesempatan terakhir Jung Sister bisa pulang. Terus Krystal kaya dapet ide buat memperbaiki mesin waktunya. Selesai. Mereka bisa sampai di Bumi dengan selamat ^^ hehe kalau ada yang membingungkan bisa ditanyakan lagii .,___.

      Like

  7. Wuuuaaa ff fantasii😍😍😍
    Suka banget bacanya😆😆
    Jongin gak sama soojung ya akhirnya
    Plotnya suka banget😉
    Gak bikin reader jadi bingungg😳
    Gabosen bacanya sumpah😳
    Walaupun kata katanya banyak tetep gabosen😳
    Malahan nangih/?😷
    Wkwk😂😂
    Kalo bisa bikin sequel ya thor, sequel yang akhirnya jongin ketemu soojung gitu kkk~😂
    Ditunggu karya karya selanjutnyaaa😆😆
    Keep writing kakkk😚
    Fighting😘😘

    Like

    • yep fantasy fail haha iya kaistalnya berpisah untuk sementara waktu, tapi di masa depan mereka bakal bersatu lagi kok ;;) huhu~~ syukur lah plot ceritanya ga bikin bosen, padahal aku takutnya para pembaca langsung bosen sama ff panjang nan gaje iniii x(((
      haduh sequel? sequel ada di pikiran masing-masing laahhh~~ hehe okee, terima kasih yaa ^^

      Like

  8. Maigot maygat/? 😂😂 ini keren banget kak anjiir jujur aku ga terlalu suka genre fantasy tapi gatau kenapa aku suka banget sama ff kakak yg ini anjiir gapapa kak seru kok gak ngebosenin sayangnya sad ending ya haha :””v keep writing kak 😄😄

    Like

    • terima kasih atas pujiannya ^^ tapi genre fantasy-nya ga selegit yang kamu bayangkan kok o.o malah menurutku kurang nagihin wkwk mungkin gara-gara fantasy-nya agak lebih ke film Cinderella/Maleficent? .__. huhuuuu
      iyaa sad end yang tersembunyi hehe, terima kasih sudah berkomentar yaa ^^

      Like

  9. kerennnnnnnnn bgt ceritany. tp ak bingung dg endingny aplg hub kaistal gantung..
    please..sequel dong

    ak heran knp jd soo tiba d.thun 2057?
    bknny dia tinggal dzaman kai

    Like

    • bingung sama endingnya? Jadi, si Krystal itu akhirnya menemukan cara kembali ke dunia masa depan. Krystal pikir, yang bisa pulang itu cuman Jessica aja, makanya Krystal bilang “Selamat tinggal, Kakak.” Tapi ternyata, mereka berdua bisa pulang bersama-sama, dan ya gitudeh kaistal kepisah antara dua dimensi :((

      iyaa yang adegan terakhir ituuu ternyata mesin waktunya membawa mereka dua tahun setelah dibuatnya mesin waktu (2055).. paham?.___. maaf yaa aku ga begitu pandai menerangkan cerita
      :(((

      Like

  10. hai sist, aku reader baru.
    Aku ikut hanyut dalam ceritanya ‘.’
    feelnya dapet banget bayangin kai manly banget ma soo.
    Tapi endingnya kurang greget. Masa kaistal gak bersatu T.T

    Like

    • Haloo, panggil aja Zuky 🙂
      Eh emang ceritanya bikin hanyut ya? Hehe persaudaraan jungsis emang yang pengen aku tekankan sih daripada sisi romance nya..
      Ah iya Pangeran Alford Franz Kai wkwk bayangin dia jadi pangerannya Soojung bikin melting setengah matii T_T wah menurutkunitu ending yg paling rasional lho haha..
      Oke, thanks for read and comment 🙂

      Like

Arcadian's Say